Masalah Moral Masyarakat Agamis, Mungkin Ini Sebabnya
Masalah Moral Masyarakat Agamis – Spiritualitas sangat menentukan akhlak dan moral. Itu tidak diragukan lagi.
Banyak penelitian membuktikan bahwa spiritualitas (agama) sangat berpengaruh terhadap tatanan moral seseorang maupun sekelompok orang. Lebih luas lagi, seyogyanya ajaran agama juga bisa menjadi penata moral masyarakat.
Namun, tidak jarang kita saksikan masyarakat yang kental dengan kegiatan-kegiatan religi (agama), kaya akan unsur-unsur agama namun moralitas bermasalah.
Kali ini, tulisan saya agak berbeda. Bukan soal perempuan, keluarga, pernikahan, dan sejenisnya. Namun, saya merasa ingin sekali menyinggung soal ini. Mengingat kita hidup di tengah masyarakat dengan beragam jenisnya. Ada yang merasa tinggal di tengah maysrakat yang katanya “adem” alias orang-orangnya baik dan soleh. Ada juga yang sebaliknya, istilahnya “panas” karena orang-orangnya membuat kesal, marah, hingga tidak betah. Bahkan masyarakat yang “panas” ini bukan masyarakat yang tidak kenal agama, justru banyak lho yang kental dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Kok bisa?
Masalah Moral Masyarakat Agamis yang Perlu Perhatian
Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga, masih ada praktek sihir, pembunuhan, saling merendahkan satu sama lain, berlomba-lomba dalam masalah harta dan kedudukan, perzinaan, pelecehan seksual melalui tindakan maupun ucapan, bertengkar karena warisan, iri dengki dengan kelebihan orang, hingga hal-hal biasa seperti etika dalam berbicara dan bermuamalah dengan keluarga dan tetangga.
Kecacatan dalam masalah moral juga bisa dilihat dari persoalan sehari-hari. Menghina orang lain yang hanya lewat di depan mata, terus menceritakan diri sendiri dengan bangga, makan buah duren dibuang di dekat rumah tetangga tapi tetangga tidak diberi sama sekali, dan sebagainya.
Fenomena ini biasa terjadi pada banyak orang dan kelompok sosial. Tidak masalah jika ini dilakukan orang-orang yang jauh dari ajaran agama. Bagaimana jika masalah moral dan akhlak ini dimiliki oleh orang-orang yang kental dengan kegiatan-kegiatan keagamaan?
Kegiatan keagamaan salah satunya pengajian rutin mingguan di majelis ta’lim, mesjid, musholla, dan sebagainya. Bahkan di desa, pengajian bisa menggunakan pengeras suara semacam TOA sehingga suara ustadz / kyai bisa terdengar ke penjuru desa.
Di kota-kota, pengajian pada prakteknya lebih privat. Hal ini mengingat paham, mazhab, hingga perbedaan agama begitu heterogen. Jadi, pengajian dilakukan di mesjid tertentu dengan jamaah tertentu. Mengapa kegiatan keagamaan ini tidak selalu menjadi penata moral umatnya? Mungkin ini sebabnya:
Pertama, Isi Pengajian Bukan Menjadi Cermin, Tapi Kaca Pembesar
Mengaji artinya melakukan charging iman dan perbaikan diri secara individu. Ada pengajian yang benar-benar bisa mengena di hati. Benar-benar membuat pendengarnya introspeksi diri. Jangankan mau meneliti kesalahan orang, termasuk kekurangan pasangan (jika materinya tentang pernikahan), justru pengajian membuat diri sibuk dengan diri sendiri.
Sebaliknya, ada pengajian yang isinya merupakan kaca pembesar. Isinya mungkin menguraikan tentang ilmu agama. Namun, banyak sekali menyinggung kasus-kasus kesalahan orang lain.
Salah satu contohnya ada ustadz yang menerangkan tentang sholat lima waktu. Namun ia banyak menyebutkan tetangganya yang rajin sholat tapi suka ngomongin orang. Lalu setelah itu ia bilang ke jamaah, “hei bapak ibu .. jangan kaya gitu yaa… ”
Bicara tentang tipe pengajian, apakah yang efeknya jadi cermin atau kaca pembesar, bisa kita rasakan sendiri ketika menyimaknya. Apakah sang ulama membuat kita jadi introspeksi diri atau malah membuat kita jadi cenderung mengkritik orang lain.
Nah, jenis ulama yang memberi efek kaca pembesar inilah yang tidak dapat memperbaiki moral masyarakat. Mengaji hanya jadi rutinitas mingguan dan kalau diambil sisi positifnya paling sebagai wahana silaturahmi. Pertemuan warga desa saja. Kecuali, jika hasil pengajian justru membuat warga tambah suka menyibukkan diri mencari-cari kesalahan orang lain. Malah mudharat jadinya.
Kedua, Tidak Adanya Ulama yang Expert
Ulama adalah orang yang memiliki kelebihan dalam ilmu agama. Ia memahami agama secara mendalam dan menyampaikan materi benar-benar atas dasar ilmiah bukan pendapat pribadi (emosi pribadi).
Ilmiah artinya punya sumber yang jelas yaitu Al-Quran dan Hadits. Serta bisa juga didukung ilmu umum yang dapat dipertanggungjawabkan sumbernya. Ulama sejati tidak akan memaksakan diri menyampaikan apa yang tidak ia ketahui. Ia juga tidak ragu mengatakan “tidak tahu”. Bukan mereka yang selalu nampak serba bisa namun ternyata tidak berdasar. Adanya ulama yang benar-benar berilmu di tengah masyarakat mampu memperbaiki moral umat. Hal ini karena selain mengajar, ia juga mendidik dan menjadi teladan nyata. Ulama yang ekspert. Ulama yang sesungguhnya.
Ketiga, Tidak Ada atau Jarang Membahas Ilmu Akhlak
Seorang ustadz lulusan Madinah mengatakan bahwa timbangan amal terbesar adalah timbangan akhlak. Beliau mengutip dari hadits Nabi tentunya.
Wajar, karena akhlak sangat menentukan kehidupan individu dan tatanan moral sosial. Mengapa kemudian masyarakat yang intens mengaji namun masih rusak akhlaknya? Mungkin perlu dilihat lagi apa isi pengajiannya.
Isi pengajian bisa hanya berputar-putar di ranah aqidah dan fiqih saja. Ilmu tentang keyakinan dan ibadah ini seharusnya sudah selesai semasa orang menuntut ilmu di pondok pesantren saat usia anak-anak hingga remaja. Setelah menjadi anggota masyarakat yang utuh, sepertinya ilmu yang paling dibutuhkan adalah ilmu seputar moral atau akhlak. Meskipun, sejak kecil akhlak memang harus sudah menjadi didikan orang tua dan guru. Tapi, materi ini harus terus diingatkan dan diingatkan supaya kehidupan umat terus mendapat kesejukan dan penuh kedamaian.
Keempat, Bisa Jadi Berangkat Mengaji Tidak Membawa Niat yang Ikhlas
Menuntut ilmu tidak berhenti di bangku sekolah atau pesantren. Mengaji akan terus dibutuhkan hingga tutup usia. Ya, iman dan amal sesekali akan low seperti baterai. Untuk mengembalikan vitalitas iman, butuh charging melalui pengajian. Bila mengaji murni diniatkan untuk tujuan ini, plus mencari pahala dan ridla-Nya, maka hasil mengaji akan memiliki efek yang positif pada diri seseorang.
Berbeda bila berangkat mengaji semata-mata karena malu kalau dianggap tidak agamis, atau hanya sekedar ingin bertemu teman-teman dan ngobrol di majelis ta’lim, atau hanya ingin menunjukkan busana yang baru dibeli di olshop? dan niat di luar menuntut ilmu lainnya. Tentu saja mengaji tidak akan begitu berpengaruh pada diri seseorang. Bahkan mungkin tidak berbekas sama sekali.
Nah, itu dia empat poin yang mungkin bisa menjadi sebab mengapa masyarakat di suatu tempat yang kental dengan kegiatan-kegiatan religi, namun moralnya masih bermasalah.
Bila kita merasa menjadi bagian dari masyarakat demikian, alangkah baiknya mulai berbenah. Mengapa? Saya yakin bahwa hidup di masyarakat dengan masalah moral dan lingkungan minim akhlak mulia akan terasa gersang dan sedikit banyak mengusik ketentraman hidup.
Anda bisa mulai mencari pengajian dengan ulama yang benar-benar menyejukkan. Entah melaui telvisi, youtube, atau mencari sendiri ulama yang benar-benar memberikan kesejukan dalam menjalani hidup.