Tentang Kodrat Perempuan yang Memberatkan Part 2

Sebelumnya, saya sudah posting artikel “Tentang Kodrat Perempuan yang Memberatkan” yang merupakan part 1 dari tulisan ini. Supaya pembaca lebih ngeh, silahkan baca part sebelumnya seperti yang tertera pada link tersebut.

Jadi, berbicara kodrat perempuan, ada dua bagian yang disebut kodrat fisik dan kodrat psikis. Nah, kalau kodrat fisik ini sifatnya bawaan dan tidak bisa dibagi dengan siapapun tugasnya, maka berbeda dengan kodrat psikis. Kodrat wanita berupa psikis inilah yang kemudian menjadi titik keberatan saya dalam tulisan ini. Pasalnya, banyak sumber berlatar agama yang membahasnya.

Masalahnya apa? Ya, ketika sumber yang bersangkutan selalu menggaungkan kemuliaan perempuan, memuliakan wanita, dan sebagainya, namun kenyataannya apabila konsep penerapan kodrat perempuan ini direalisasikan, maka bukan memuliakan perempuan. Justru akan memberatkan.

Mengapa? Kodrat psikis dalam konsep berbagai sumber, secara langsung mengaitkan dengan sekian banyak kewajiban perempuan dalam rumah tangga. Perempuan akan sangat lelah dan sangat rentan terdepak dari kata “solihah”.

Nah, itulah sekilas mengenai kodrat perempuan yang memberatkan di tulisan saya sebelumnya. Di tulisan ini, saya lanjutkan ya…

Kodrat Fisik Itu Mutlak, Tapi Bisakah Berkompromi Soal Kodrat Psikis?

Katanya, kodrat psikis perempuan yang lembut, sabar, tenaga yang kurang besar, dan lain-lain menjadi alasan beberapa tulisan agamis membebankan tugas domestik kepada perempuan. Bahkan ada di antara sumber tersebut yang mengatakan bahwa mengerjakan tugas domestik serta melayani suami secara keseluruhan menjadi tolak ukur keshalihan seorang istri.

Namun, kenyataannya di jaman sekarang, tatkala perempuan sudah memiliki akses untuk berkiprah dalam dunia kerja dan sosial, tugas domestik rasanya tidak bisa dilakukan dengan sempurna.

Bila saya katakan secara lugas, istri membutuhkan bantuan mengenai tugas-tugas domestiknya. Ya, mengenai bantuan itu, setiap rumah tangga selayaknya punya solusinya sendiri-sendiri. Entah suami ikut membantu pekerjaan istri atau memang ada bantuan asisten rumah tangga.

suami mengurus anak perempuan
Dad and son cooking together

Di sini sebenarnya ada pertentangan dengan pendapat beberapa situs yang mengatakan bahwa ciri istri solihah adalah tidak membiarkan suami mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Berarti solusinya adalah memberikan bantuan kepada istri dengan membayar asisten rumah tangga.

Meski saya sebenarnya secara pribadi meragukan kebenaran beberapa artikel situs terkait. Mengapa? Kita tahu bahwa kodrat berupa fisik saja rasanya sudah banyak menyita waktu, tenaga, bahkan nyawa perempuan. Kodrat fisik berupa haid, mengandung, melahirkan, dan menyusui ini tidak bisa kita anggap remeh. Rasanya akan sangat bertentangan dengan konsep “memuliakan perempuan” bila kemudian ada kodrat lain yang dimutlakkan oleh beberapa media yang nantinya menjadi konsumsi banyak orang.

Perempuan Merasa Bahagia Bila Saling Melayani, Bukan Menjadi Pelayan

Menikah itu untuk menghadirkan bahagia kan? Sakinah (rasa tenang), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang). Rasanya akan jauh dari tiga parameter itu bila agama menempatkan perempuan sebagai pelayan. Bagaimana keluarga akan bahagia bila salah satu pihak dirugikan?

Saya sedikit ingin mengkritisi beberapa pengajar agama (ustadz) yang bias gender. Katanya bermaksud memberikan tips keluarga bahagia sesuai tuntunan syariat, namun pada akhirnya konsep yang ia sampaikan selalu merugikan perempuan.

Misalnya ada oknum ustadz yang (tidak bisa saya sebutkan namanya) mengatakan bahwa seorang suami bisa berpaling ketika istri mulai memiliki anak. Alasannya karena perhatian istri terfokus kepada anaknya. Sementara istri tidak lagi mampu melayani suami secara optimal.

Saya kira perkataan demikian benar-benar subjektif. Artinya, bukan benar-benar sabda agama, tapi sudah membawa ego pribadi. Mana mungkin seorang suami yang baik memalingkan hati jika paham alasan istri kurang perhatian adalah karena mengurus anak. Bukankah seharusnya suami ikut membantu? Anak tidak lahir sendiri tanpa kontribusi suami kan? Tentu tidak etis jika mengurus anak menjadi alasan suami berpaling. Sebutlah dalam istilah agama ada konsep poligami.

Pemikiran semacam itu sudah jelas bahwa perempuan ditempatkan sebagai pelayan, bukan seorang partner yang setara. Saya miris karena itu disampaikan atas nama ajaran agama. Banyak laki-laki biasa (bukan ustadz) yang lebih paham keinginan pasangan hidupnya dan memuliakan perempuan tanpa banyak dalil. Pria berakhlak mulia yang ilmu agamanya mungkin tidak terlalu banyak. Tapi mereka mampu membuat keluarga bahagia serta mengamalkan agama lebih membumi tanpa banyak kata.

Ada seorang suami yang berprofesi guru di sebuah sekolah dasar, di rumahnya dia tidak pernah seenak hati meminta diambilkan minum, makan, atau layanan ala ala sultan lainnya. Mengapa? Ia menjawab bahwa ia paham istrinya lebih banyak pekerjaan daripada dirinya. Ia juga membantu menjemur cucian, mencuci piring yang tergeletak di wastafel, membetulkan apa saja yang sekiranya bermasalah di rumah tanpa banyak berdalil. Berat sama dipikul ringan sama dijinjing.

Ada juga suami yang istrinya berprofesi sebagai dosen. Suatu hari istri harus pergi ke luar negeri karena undangan riset kampus. Jika pergi, maka otomatis rumah dan anak-anak harus dihendel suami. Apa yang dilakukan suami? Ya, mengizinkan istrinya pergi. Bagaimana dengan urusan rumah dan anak-anak? Suami yang memang punya niatan baik, paham bahwa pekerjaan istri adalah kebahagiaan bagi istrinya, pasti punya solusi sendiri. Bukan langsung menghadang dengan sekian alasan yang ujung-ujungnya memberatkan istri agar tidak pergi. Tentu saja, ada pengecualian jika memang tidak ada solusi jika sang istri pergi.

Memang tidak mudah untuk memahami keinginan pasangan. Namun, komunikasi yang baik, kelapangan hati seorang suami, dan tidak memaksakan kehendak akan mampu membuat solusi yang terbaik demi kenyamanan bersama.

Saya sering menemukan seorang istri yang bahagia dalam rumah tangganya (termasuk yang berperan sebagai ibu rumah tangga) bukan karena suami yang gagah atau kaya raya, namun suami mereka adalah laki-laki yang memahami apa keinginan istrinya. Jika istrinya bahagia dengan bekerja, ia dengan senang hati mempersilahkan dan meridloi. Jika istrinya bahagia dengan menjadi ibu rumah tangga, ia juga mendukung dan memfasilitasi kemudahan bagi istrinya di rumah.

Berada di rumah pun tidak serta merta istri disuruh ini itu, tapi tetap melihat situasi dan kondisi. Tidak pergi liburan atau nongkrong bareng teman-teman jika paham istrinya repot di hari libur. Ah, apalagi mancing dan main burung dengan alasan weekend karena tugas rumah tangga ia anggap kewajiban istri semata. Hmmm… benar-benar primitif.

Kembali ke topik.

Antara Teori Kodrat Wanita dan Realitanya

Bila melihat realitas, setiap rumah tangga tidak sama dalam menjalani peran suami istri. Meskipun teorinya perempuan harus melayani dan suami adalah sosok yang dicari ridlonya, kenyataannya di masyarakat (khususnya apa yang saya lihat) tidaklah saklek demikian.

Kadang memang ada rumah tangga yang suaminya benar-benar mengambil kendali penuh, istri mengikuti instruksi, kemudian segala sesuatu yang dilakukan istri selalu berpedoman kepada menyenangkan atau tidaknya untuk suami.

Ada pula yang mengalir bebas sesuai situasi dan kondisi. Istri tidak sempat atau tidak mau mengerjakan tugas rumah tangga, suami menggantikan peran itu. Atau memang jika ada kelebihan rejeki, menyewa asisten rumah tangga. Bila suami kurang beruntung dalam mencari nafkah, maka istri yang memfokuskan diri mencari nafkah. Pokoknya ngalir sesuai kemampuan dan kondisi yang ada.

Pengaruh Hukum Agama Terhadap Peran Istri di Dalam Rumah Tangga

Meskipun sebatas teori, namun apabila menyangkut hukum agama, pasti ada rasa takut jika melanggar. Ancaman dosa dan motivasi pahala tentu akan mempengaruhi keputusan kecil maupun besar dalam hidup seseorang. Termasuk urusan dan peran dalam rumah tangga.

Bayangkan saja, betapa resahnya saya saat ada teman membuat status WhatsApp begini, “Di akhirat, tidak akan ditanya tentang kertas-kertas di meja kerjamu, tapi nanti yang ditanya adalah bagaimana kamu mengurus anakmu.” Bukan sebatas gambar bertuliskan kalimat tersebut, tapi sumber tulisan yang dicantumkan di situ adalah sumber dari media bernuansa agama. Tentu sebagai pembaca yang awam, ini sangat berpengaruh.

Bagaimana tidak, siapapun pasti ingin perbuatannya punya nilai dalam pandangan agama. Apabila bekerja di kantor dan meninggalkan anak-anak membuat seorang perempuan tidak masuk kategori wanita dan ibu yang sholihah, saya yakin siapapun akan resah dibuatnya. Pasti ada rasa khawatir mengenai peran yang ia jalani selama ini. Apakah pilihannya selama ini sudah keliru? Apakah sebagai perempuan tidak mudah memilih peran setelah menikah?

Pandangan agama sangat berpengaruh besar terhadap keputusan hidup. Pilihan yang dikatakan baik oleh agama, maka akan dilakukan. Sebaliknya, pilihan yang dikatakan tidak baik, makan akan menjadi kegelisahan jika terus dijalani.

Begitu juga konsep kodrat perempuan yang terus digaungkan oleh berbagai sumber, pasti sangat mempengaruhi pilihan hidup seseorang. Jika apa yang disampaikan oleh sumber itu memberatkan perempuan, pasti akan meresahkan hati banyak orang.

Ya, pengaruhnya terhadap keputusan dan perasaan kaum perempuan sangat besar. Apalagi tidak semua orang mencerna informasi secara kritis. Banyak yang menelannya mentah-mentah lalu menerapkan itu dalam rumah tangga. Padahal kenyataannya mungkin bisa saja membuat banyak keberatan, ketidaknyamanan, bahkan terjadi ketidakadilan yang tidak bisa dilawan. Siapa sih yang berani melawan titah agama? Padahal titah tersebut belum mutlak kebenarannya. Masih berupa penafsiran segelintir orang.

Kesimpulan

Hukum mengenai kodrat perempuan dalam rumah tangga seringkali dipahami bulat-bulat tanpa kajian lebih jauh lagi oleh kita. Segelintir media atau kelompok tertentu juga gencar mengedukasi masyarakat tentang peran perempuan dengan dalil agama.

Padahal, pada prakteknya, yang awalnya bertujuan memuliakan perempuan, justru memberatkan perempuan. Label istri solihah pada akhirnya selalu berwujud perempuan rumahan yang selalu melayani tanpa banyak bicara. Meskipun tidak dikatakan demikian, tetap saja konsep kodrat perempuan yang bertebaran selama ini mengarah ke sana.

Demikian segelintir keresahan saya mengenai media maupun tokoh agama yang mengajarkan kodrat perempuan yang menurut saya memberatkan. Bukannya terasa memuliakan, justru malah merendahkan perempuan pelan dan perlahan lewat penyebaran ideologi yang sangat halus.

Setiap pendapat dan pengalaman pasti ada beda. Bagaimana pendapat pembaca mengenai kodrat perempuan yang sesungguhnya? Apakah pembaca punya contoh ketidakadilan peran perempuan dalam rumah tangga?

You May Also Like

Leave a Reply