Sepenggal Cerita Tentang Remaja dan Anak Putus Sekolah di Desa

Apabila menceritakan tentang desa, saya selalu mengingat betapa sulitnya menempuh pendidikan hingga sekarang. Putus sekolah dan rendahnya minat belajar masih kental di sana. Meskipun tidak seburuk daerah tertinggal seperti wilayah Indonesia Timur, namun kurangnya minat belajar nampaknya juga masih menjadi problem tersendiri.

Perlu kita ketahui, data TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) dalam artikel tempo.co (7/2019) menyampaikan masih banyaknya jumlah anak putus sekolah di negara kita. Jumlahnya mencapai 4,5 juta anak yang tersebar di 34 provinsi.

Usia anak 7 sampai 12 tahun (usia Sekolah Dasar atau SD) mencapai 1,2 juta lebih yang tidak bersekolah. Adapun kategori umur 13 sampai 15 tahun (usia Sekolah MenengahPertama atau SMP) mencapai 933 ribu lebih. Sementara usia Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu usia 16 hingga 18 tahun mencapai 2,4 juta anak tidak bersekolah.

Bagaimana dengan jumlah anak putus sekolah di desa saya? Memang ada anak yang bisa sekolah hingga sarjana. Namun, yang saya amati, jumlahnya masih bisa dihitung jari. Kalaupun sekolah sampai sarjana, biasanya ini terjadi pada anak yang memiliki orang tua berada atau memiliki prestasi yang tinggi di sekolah.

Apa Penyebab Putus Sekolah?

Tulisan ini mengadopsi sebuah penelitian dengan judul “Faktor Penyebab Putus Sekolah Dan Dampak Negatifnya Bagi Anak” di Desa Kalisoro, Tawangmangu, Karanganyar. Penelitian ini ditulis oleh Mutiara Farah dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada tahun 2014.

Membaca penelitannya, saya merasakan ada kesamaan dengan kasus anak putus sekolah di desa saya. Sebuah desa di Jawa Barat.

Sekolah hingga sarjana sepertinya belum menjadi impian maupun target penting dalam mindset masyarakat di sana. Anak sekolah sampai SMP saja lalu berhenti sekolah, di kampung saya adalah hal yang lumrah. Apa sih sebenarnya penyebab anak putus sekolah?

Faktor Internal Anak Putus Sekolah

Pertama, ada faktor internal yang menyebabkan anak tidak sekolah hingga akhir. Di antara faktor internal adalah motivasi anak-anak yang belum kuat.

Mereka belum menganggap bahwa sekolah tinggi itu penting. Kebanyakan anak-anak atau remaja lebih memikirkan bagaimana bisa bekerja dan menghasilkan uang. Ini juga ada kaitannya dengan pemahaman dan motivasi orang tua mereka dalam menyekolahkan anak-anak mereka.

Faktor Eksternal Anak Putus Sekolah

Selain faktor internal, ada penyebab eksternal sehingga anak dan remaja di kampung saya tidak belajar hingga jenjang yang lebih tinggi.

Keterbatasan Ekonomi

Masalah ekonomi menjadi pemicu paling umum terjadi di kampung saya. Alasan tidak ada biaya, pekerjaan sebagai petani yang hanya bisa memenuhi kebutuhan pokok setiap harinya, dan sebagainya.

Anak-anak kebanyakan sekolah sampai SMP yang memang biayanya sudah ditanggung pemerintah. Banyak pula memang yang belajar sampai SMA. Namun, biasanya masyarakat di desa lebih memandang sekolah hingga SMA ini sebagai cara supaya bisa minimal memenuhi syarat bekerja di kota.

Tidak heran jika setelah lulus SMA, remaja di desa saya memilih untuk merantau. Apakah hanya ke kota dalam satu kabupaten atau lintas pulau. Tujuan memperbaiki ekonomi keluarga dan ingin segera mandiri secara finansial membuat anak-anak lebih memilih bekerja ketimbang melanjutkan sekolah sampai sarjana.

Sosial Budaya

Selaian faktor ekonomi, penyebab anak-anak putus sekolah juga karena pandangan masyarakat yang masih menganggap bahwa sekolah tidak perlu tinggi. Apalagi jika anak kurang berprestasi. Masyarakat masih menganggap prestasi sebatas angka dalam rangking kelas. Rangking di atas 10, otomatis anak mereka tidak perlu belajar lebih tinggi. Cukup sekolah sampai SMP atau SMA, yang penting bisa bekerja.

Bahkan, khusus bagi kaum perempuan, masih ada budaya patriarki yang kental di sana. Perempuan masih dibayangi kewajiban domestik yang membuatnya merasa tidak perlu sekolah tinggi. Toh, nanti juga akan mengurus rumah tangga saja. Begitu pemikiran orang kebanyakan di sana.

Faktor Geografis

Masalah geografis juga saya kira berpengaruh. Lokasi perkampungan yang masih jauh dari pusat kota membuat masyarakat di sana tidak memiliki akses belajar lebih tinggi.

Saya memiliki tetangga yang kebetulan merupakan orang berada. Mereka sekeluarga pindah ke kota dan menetap di sana sembari mengurus usaha. Perpindahan mereka dan anak-anaknya membuat mindset belajar juga berbeda. Jika pemuda seusia anak tetangga saya biasanya sekolah hanya sampai sekolah menegah, maka anak-anak tentangga saya bisa lulus hingga sarjana dan bekerja di perusahaan ternama di kota.

Berbeda dengan pemuda-pemudi di desa yang belum mendapatkan lingkungan belajar yang tinggi. Akses belajar, tempat sekolah, lingkungan, membuat lokasi desa saya yang jauh dari perkotaan membuat putus sekolah menjadi hal yang lumrah.

Akibatnya Jika Anak Putus Sekolah

Memangnya kenapa jika banyak anak dan remaja putus sekolah? Toh mereka tetap bisa melanjutkan profesi orang tuanya di kampung. Atau bisa bekerja ke luar kota.

Sebenarnya, mengenyam pendidikan yang tinggi bukan sekedar untuk mendapatkan pekerjaan. Meskipun itu tujuan penting, namun sebenarnya sekolah mampu mengubah banyak hal. Sehingga jika anak putus sekolah akan berakibat buruk. Apa saja akibat anak putus sekolah?

Wawasan dan Ilmu Terbatas

Ketika orang tidak sekolah atau hanya mengenyam pendidikan dasar, maka wawasan dan ilmunya lebih terbatas. Kurangnya ilmu dapat membuat kreativitas dan problem solving dalam keseharian juga lebih rendah.

Pemikiran kritis, terbuka, toleransi juga seringkali didapatkan dari bangku sekolah dan kuliah. Mampu menerima perbedaan, baik agama, budaya, dan sebagainya juga didapat dari wawasan dan ilmu. Sebaliknya, kita sering melihat orang begitu fanatik terhadap satu keyakinan, golongan, mudah terpengaruh hoaks, gampang tersulut emosi oleh hanya satu berita akibat kurangnya literasi digital, seringkali terjadi pada mereka yang kurang berpendidikan.

Tidak Mampu Bersaing di Dunia Kerja

Sekolah tidak hanya meningkatkan wawasan dan ilmu, tetapi juga mampu mengasah keterampilan. Kreativitas menciptakan usaha, mampu memenuhi kualifikasi di lapangan kerja, semua itu bisa didapat dengan sekolah hingga sarjana.

Meskipun seringkali profesi tidak sesuai dengan jurusan saat kuliah, misalnya, namun setidaknya segala bekal ilmu dapat kita peroleh lewat momen akademis. Seperti membuat usaha di rumah, misalnya, walau tidak sesuai dengan jurusan saat kuliah, namun skill, kemampuan melayani pembeli, strategi pemasaran digital, dan lain-lain seringkali didapat dari masa proses belajar di ranah akademik.

Berbeda jika tidak sekolah. Selain membuat orang tidak masuk dalam kualifikasi dunia kerja, juga kreativitas menciptakan lapangan kerja lebih kecil peluangnya. Banyak pemuda yang akhirnya pulang ke kampung halaman dan menjalani rutinitas seperti orang tuanya karena tidak mampu mengikuti persaingan di kota tempat ia merantau dan bekerja. Kurangnya bekal pendidikan dan keterampilan membuat mereka menyerah dan hanya siap jika mengikuti jejak orang tua, seperti bertani, beternak, dan sebagainya.

Kenakalan Remaja

Anak tidak belajar atau hanya menyelesaikan sekolah dasar menyebabkan kenakalan remaja meningkat. Rutinitas bermain yang lebih banyak, semaunya, serta bergaul dengan siapa saja tanpa memilih membuatnya tidak terkontrol. Kurang pendidikan namun mendapat akses media informasi tanpa batas, juga bisa membuat mereka tidak mampu menyaring mana yang baik dan buruk.

Waktu bermain yang tanpa batas, kurangnya bergaul dengan teman-teman di sekolah, bertemu pendidik yang mampu mengarahkan, menjadi penyebab tingkat kenakalan remaja lebih tinggi.

Perlu Motivasi dari Berbagai Pihak untuk Menurunkan Angka Putus Sekolah

Sekolah tinggi, minimal hingga sarjana itu penting sekali supaya sumber daya manusia (SDM) masyarakat meningkat. Meskipun tinggal di desa, namun kehadiran kaum berpendidikan tentu mampu memajukan desanya sendiri. Berbagai persoalan pengangguran, kenakalan remaja, kurangnya kemampuan menyaring informasi, juga bisa diminimalisir.

Oleh sebab itu, perlu motivasi dari anak-anak di desa supaya lebih giat belajar. Punya kemauan belajar sampai jenjang pendidikan yang tinggi agar bisa meraih cita-cita dan menjadi penerus bangsa yang lebih berkualitas.

Tidak hanya motivasi anak. Orang tua juga perlu memiliki motivasi yang kuat untuk menyekolahkan anak-anaknya. Banyak orang tua di desa masih menganggap bahwa memperbanyak sawah dan ladang lebih utama daripada menghabiskan uang untuk menyekolahkan anak. Ini benar-benar terjadi. Mungkin karena motivasi dan pola pikir yang kurang terhadap pentingnya pendidikan.

Motivasi anak dan orang tua tidaklah cukup. Perlu juga penyuluhan dan sosialisasi dari pemerintah tentang pentingnya pendidikan. Tidak hanya penyuluhan, tetapi juga membuka banyak bantuan sekolah dan beasiswa supaya anak dari orang tua tidak mampu dapat mengenyam pendidikan lebih tinggi.

Selain pemerintah, kita yang punya rezeki lebih, penghasilan yang cukup, juga perlu turut membantu anak-anak berpotensi putus sekolah dengan dukungan sponsor anak. Program sponsor anak ini salah satunya aktif dilakukan oleh Wahana Visi Indonesia (WVI) yang mendukung masa depan anak-anak Indonesia di berbagai wilayah yang paling membutuhkan. Mulai dari dukungan kesehatan, pendidikan, perlindungan anak dan penguatan perekonomian keluarga.

Referensi :
https://wahanavisi.org/id/sponsor-anak/tentang-sponsor-anak
http://eprints.ums.ac.id/30067/24/NASKAH_PUBLIKASI.pdf
https://www.tempo.co/abc/4460/partisipasi-pendidikan-naik-tapi-jutaan-anak-indonesia-masih-putus-sekolah

Yuk, kurangi angka anak putus sekolah dengan turut berkontribusi dalam WVI yang dapat kita akses di situs resminya https://wahanavisi.org/. Mulai perubahan dari diri sendiri.

You May Also Like

1 Comment

  1. Putri Santoso Januari 9, 2021 at 8:44 pm

    Saya pernah berkunjung ke sebuah desa di yang cukup tertinggal. Benar banget kata kak Iim, faktor geografis ini harus menjadi faktor yg diperhitungan dalam pembangunan pendidikan. Karena desa yang sangat tertinggal tentu saja masyarakatnya merasa cukup asal bisa baca tulis 🙁

Leave a Reply