Pentingnya Menyaring Komentar, Orang Tidak Ikut Menanggung Hasilnya
Kenapa menyaring komentar itu penting? Ada yang bilang bahwa orang hanya bisa berkomentar, tapi tidak akan ikut bertanggungjawab atas akibat dari penilaiannya itu. Hal itu benar adanya, dan berlaku pula dalam urusan rumah tangga.
Ya, mungkin ada beberapa orang bijak di sekitar kita yang mampu memberikan arahan dalam jalan hidup kita. Tapi, biasanya hal itu terjadi jika kita sendiri menginginkan nasihat dan saran dari orang yang bersangkutan. Lebih jauh lagi, jika memang apa yang kita jalani benar-benar salah, dan jelas kita akui dari hati terdalam, tentu dalam keadaan seperti itu, nasihat orang lain yang menginginkan hal baik untuk kita, sangat diperlukan.
Tapi apa jadinya jika orang hanya memberikan komentar tanpa kita minta? Pendapat yang tidak jarang bisa mengganggu dan mempengaruhi perasaan kita. Bahkan, efek komentar itu sampai membuat kita mempertanyakan, “apakah yang aku jalani sudah benar atau belum?”.
Terlepas dari pengaruhnya bagi kehidupan kita, pada kenyataannya orang hanya ingin mengomentari saja. Sementara, efeknya dari setiap sarannya tentu mereka tidak ikut bertanggungjawab. Yuk mulai bijak menyaring komentar supaya tidak terperangkap dalam pendapat tidak pertanggungjawab.
Ilustrasi dalam Menyaring Komentar dari Orang Terdekat
Hal ini sangat banyak terjadi dalam kasus rumah tangga. Ingat, bahwa pola rumah tangga setiap orang tidaklah sama. Selama apa yang kita lakukan itu terbaik sesuai keadaannya, maka lakukan dengan pandai memilih komentar orang sekitar.
Belajar dari Sosok Penurut dan Sosok Teguh
Orang tua (mencakup orang tua kandung dan mertua) adalah sosok yang harus kita hormati. Nasihat mereka dan perlindungannya adalah hal yang selalu kita butuhkan bahkan sampai memasuki usia pernikahan dan menjalani rumah tangga.
Namun, ada kalanya kita perlu belajar menepis komentar-komentar orang tua maupun mertua kita ketika apa yang kita jalani adalah pilihan terbaik. Perlu diingat lagi, bahwa sekalipun orang tua adalah sosok yang paling mencintai kita, sebenarnya mereka tidak memahami keadaan rumah tangga kita hingga mendalam.
Cerita Mbak Susi yang Penurut
Salah satu contohnya ibu rumah tangga yang punya suami telah mapan, atau setidaknya sudah dapat mencukupi kebutuhan keluarga tanpa istri harus ikut bekerja. Mungkin orang akan menilai bahwa idealnya perempuan itu tinggal menjalankan tugasnya saja di rumah. Padahal, tidak ada yang tahu mengenai kondisi sebenarnya. Bahkan orang tua atau mertua pun tidak tahu.
Dengan kondisi keuangan yang lumayan berkecukupan, sebut saja Mbak Susi tetap punya keinginan mebangun bisnis online produk kecantikan. Karena usahanya ini, Mbak Susi tidak sempat memasak dan kurang optimal menjalankan kegiatan rumah tangga.
Ketika Orang Tua Turut Menilai Rutinitas Rumah Tangga
Orang tua Mbak Susi melihat hal itu segera berkomentar, “Kenapa rumahmu tidak rapi? Kayaknya kamu banyak waktu. Anak sudah besar pula”. Karena masih teguh dengan usahanya, Mbak Susi akhirnya menyewa asisten rumah tangga. Ibunya yang menganggap bahwa Mbak Susi bukan wanita karir, melanjutkan komentarnya, “Kenapa harus menyewa asisten rumah tangga? Bukannya kamu mampu mengerjakan semuanya?”.
Komentar itupun ditambahi dengan berbagai nasihat yang sangat mempengaruhi Mbak Susi. Akhirnya Mbak Susi merasa tidak pantas memaksakan diri merintis bisnis online sementara pekerjaan rumah dan anak diserahkan kepada pembantu. Ini sebenarnya ada kaitannya dengan kesalahan memahami kodrat perempuan.
Terlalu Mudah Menyerah dan Terpengaruh Penilaian Orang Lain
Dengan tekanan demikian, sebagai perempuan mungkin menjadi tidak nyaman. Apalagi jika dibenturkan dengan naluri perempuan yang juga sebenarnya ingin berbakti kepada suami dan fokus menjadi ibu rumah tanggatulen. Akhirnya ia putuskan untuk fokus mengurus rumah tangga dan menghentikan bisnis online yang ia rintis.
Alhasil, Mbak Susi kembali ke rutinitas lamanya. Menjadi ibu rumah tangga tulen. Ia tepis tujuannya dulu merintis bisnis online. Katanya bisnis itu dulu ia jalani supaya menjadi perempuan mandiri secara finansial tanpa harus menunggu pemberian suami. Selain itu, ia ingin lebih merasa produktif dan mengasah kemampuannya sendiri dalam berbisnis supaya skillnya tetap terlatih.
Namun kini, ia kembali menjadi ibu rumah tangga biasa dan sama sekali tidak memiliki penghasilan sendiri. Ia juga tidak leluasa memberikan apa yang ingin ia berikan kepada ibunya, tidak leluasa membeli apa yang ia inginkan, dan segala keterbatasan yang sebenarnya ingin ia hilangkan sejak dulu.
Situasi di Mana Hanya Waktu yang Menjawab
Suatu saat sang ibu yang dulu berkomentar itu mendapati kasus serupa di mana anaknya yang lain (adik Mbak Susi) juga menekuni bisnis online. Pekerjaan si anak hanya main hape, dan tidak optimal mengerjakan yang lain. Ibu Mbak Susi inipun gusar dan menasihati adik Mbak Susi supaya meninggalkan kegiatan bisnis online. Alasannya, karena melihat sendiri Mbak Susi yang dulu merintis bisnis online tapi tidak pernah sukses.
Dalam kasus ini, sang ibu lupa bahwa bisnis online anaknya yang dulu ia komentari sebenarnya bisa sukses jika terus dijalani dengan fokus. Mungkin usahanya sudah setengah jalan dan akan berhasil. Namun, terhenti karena komentarnya sendiri. Kini si ibu itu hanya bisa mengatakan bahwa “bisnis jenis online itu hanya pekerjaan sia-sia”.
Lebih menyesakkan lagi, ia melarang adik Mbak Susi menekuni bisnis online karena melihat contoh kegagalan yang dialami Mbak Susi. Sang ibu menyuruh anaknya mendaftar kerja yang pasti-pasti saja. Misal menjadi karyawan perusahaan. Lebih jauh lagi, sang ibu mendorong adik Mbak Susi bekerja supaya menjadi perempuan mandiri. Bisa ngasih orang tua meski nanti sudah menikah, katanya. Wah.
Kalau sudah begini, tentu kita semua bahkan yang baca kisah ini juga hanya bisa menelan ludah ya. Ah, sudahlah.
Cerita Mbak Desti yang Teguh Pendirian
Cerita Mbak Susi yang dibuat galau sang ibu ini berbeda dengan kisah Mbak Desti. Ia juga menjalani bisnis serupa, namun yang mengomentari adalah mertuanya. Ceritanya kebetulan sama, Mbak Desti juga punya suami yang lumanyan mencukupi kebutuhan keluarga. Hanya saja, ibu kandung Mbak Desti justru mendukung apapun yang ia lakukan. Bahkan katanya, selalu mendoakan agar bisnisnya sukses.
Ibu kandung tidak masalah, kini Mbak Desti berhadapan dengan mertua yang katanya cukup cerewet. Mertuanya tidak suka dengan kebiasaan Mbak Desti yang sering minta tolong suami menjaga anaknya yang masih kecil demi melayani pelanggan online. Mertua perempuan Mbak Desti juga seringkali menasihati bahwa anak seharusnya diurus oleh Mbak Desti secara total tanpa harus melimpahkannya kepada pengasuh.
Punya Alasan yang Kuat dan Prinsip Teguh
Mbak Desti mengatakan bahwa sebenarnya ia sangat terganggu oleh ceramah-ceramah mertuanya. Ia memang mengakui bahwa ucapan mertuanya ada benarnya. Hanya saja, Mbak Desti punya alasan sendiri kenapa ia melakukan semua itu.
“Mbak, hanya kita yang tahu kebutuhan kita. Memang kecerewetan mertua saya itu sangat mengganggu. Bahkan sering juga membuat saya ingin meninggalkan bisnis saya. Saya tidak ingin menjadi menantu yang buruk. Tapi, mertua saya tidak tahu keinginan saya itu apa, kan? Kebutuhan kita sebagai perempuan itu banyak mbak. Nggak muanfik ya, kita sebagai perempuan ingin beli tas bagus, baju bagus, ingin makan enak, ingin bersedekah, ingin ngasih ke orang tua kita sendiri dan bahkan juga ke mertua. Supaya kita dihargai Mbak. Kita kalau punya uang sendiri, akan lebih dihargai oleh orang, oleh keluarga, bahkan oleh suami sendiri.”
Curhat panjang Mbak Desti memang cukup blak-blakan. Tapi, memang sejujurnya, itulah yang kebanyakan perempuan inginkan. Mbak Desti tetap merintis usahanya walau harus menepis beribu komentar mertuanya yang kadang membuatnya ingin meyerah.
Jika Pandai Menyaring Komentar Orang, Waktu pun Berpihak Pada yang Kuat
Namun, akhirnya waktu menjawab keteguhan Mbak Desti. Ia berhasil menjadi pebisnis online yang sukses. Setidaknya penghasilannya bisa sepuluh kali lipat dari pekerja kantoran. Kini, mertua yang dulu merongrongnya dengan komentar harus begini dan begitu, justru menjadikan Mbak Desti sebagai contoh untuk anggota keluarga yang lain. Ia mampu menyaring komentar orang lain dengan bijaksana.
Kesimpulan
Ya, begitulah orang lain. Saya mengambil contoh sosok orang tua karena sepertinya lebih mengena. Jangankan orang lain yang bukan siapa-siapa bagi kita. Orang lain yang bahkan tidak peduli dengan nasib kita. Bahkan orang tua yang begitu mencintai kita pun, seringkali perlu kita saring lagi komentar-komentarnya. Sesekali kita perlu abaikan juga. Tentunya dengan cara yang terbaik dan bijaksana.
Ingat, kata Rhoma Irama bahwa doa ibumu adalah keramat yang paling ampuh di dunia. Hai hai… Jadi, sekalipun kita merasa perlu menepis nasihat mereka, tetap sampaikan dengan baik-baik dan menjaga perasaan mereka tentunya.
Itulah pentingnya menyaring komentar orang lain, karena bagaimanapun pendapat itu datangnya dari penialaian yang bisa keliru. Komentarnya juga bisa keliru dan mungkin menyesatkan. Jadi, jangan buru-buru terpengaruh, ya.