Untuk Para Suami yang Melarang Istri Bekerja, Pahami Tiga Hal Ini

Saya cukup sering mendengar cerita tentang suami melarang istri berkerja. Entah itu saya dengar langsung dari mereka yang mengalami, atau dari orang lain yang menceritakan tentang para suami melarang istri bekerja.

“Hebat ya, Mbak Diana (nama samaran) bisa sekolah S2, sambil kerja, juga punya anak dua.” Saya mengomentari tetangga saya.

“Sebenarnya suaminya tidak membolehkan Diana lho. Harusnya Diana itu nurut, toh penghasilan suaminya juga cukup ya. Repot juga kan tiap hari kerja.” Jawab kakak Mbak Diana.

Cerita lainnya datang dari orang tua teman anak saya. Sebut saja namanya Bu Sinta yang dulunya berprofesi sebagai bidan. Bu Sinta bercerita bahwa dulunya ia adalah seorang bidan. Namun kini, ia fokus menjadi ibu rumah tangga dan telah meninggalkan profesi itu.

“Suami saya bilang, ‘wis ra usah kesel-kesel kerja. Ngko Ibu tak sugihna, wes.’ (Artinya, sudah.. ngga usah capek-capek kerja. Nanti Ibu saya sejahterakan, dah). Akhirnya, saya pun memilih resign walaupun pilihan itu membuat para pasien saya serta masyarakat merasa kehilangan.” Tutur Bu Sinta mengenang.

Ada Perempuan yang Sukarela Tidak Bekerja, Tapi Ada Juga yang Sebaliknya

Dua cerita di atas sebenarnya baru cerita sekilas. Saya memang tidak mendalami lebih jauh. Apakah istri terpaksa menuruti permintaan suaminya atau memang dengan senang hati.

Apakah suaminya memaksa atau memang hanya memberi saran. Entah suami melarang karena mampu menyejahterakan keluarganya atau hanya ego belaka.

Namun, saya seringkali menemukan bahwa perempuan tidak bekerja setelah menikah, tidak selalu karena ingin. Tapi karena tidak punya pilihan. Lebih jauh lagi, karena paksaan orang terdekat. Salah satu orang terdekat istri paling utama adalah suaminya.

Entah paksaan secara langsung atau tidak. Misal melarang secara terang-terangan dengan berkata tegas, “Pokoknya Mamah tidak boleh kerja. Titik. Ayah tidak suka punya istri yang sibuk di luar rumah.” Atau cara tidak langsung dengan menunjukkan sikap tidak senang dengan rutinitas pekerjaan istri. Mungkin suka marah ketika istri pulang kerja, terus menelepon ketika istri bekerja, atau menghalangi istri saat ada kegiatan kantor ke luar kota.

Itulah sebabnya perempuan setelah menikah “terpaksa” memilih fokus menjadi ibu rumah tangga. Bukan karena ingin, tapi menghindari konflik agar hidup nyaman.

Namun, ada juga istri yang dengan senang hati tidak bekerja. Bahkan, saya punya kakak kelas yang bercita-cita ingin menjadi ibu rumah tangga tulen. Pokoknya suami harus mengizinkan dia untuk tidak bekerja. Ingin mengurus rumah, mengasuh anak, serta melayani suami dengan maksimal.

Tentu prinsip, keinginan, serta situasi perempuan setelah menikah tidaklah sama. Namun, dalam hal ini, saya merasa bahwa kebanyakan orang selalu menganggap sederhana terhadap pekerjaan perempuan setelah menikah.

Alasan anak, pelayanan terhadap suami, serta ekonomi keluarga yang tidak perlu dibantu istri, biasa menjadi alasan umum seorang suami melarang istri bekerja atau meniti karir. Padahal, ada banyak faktor yang seringkali sulit dijelaskan oleh perempuan terkait karir dan pekerjaan.

Sebelum Suami Melarang Istri Bekerja, Harus Tahu 3 Alasan Istri Bekerja

Nah, sebelum suami melarang istri bekerja, sebaliknya para suami ketahuai alasan istri bekerja yang jarang dipahami kaum pria. Jangan sampai asal melarang dengan alasan sayang pada istri. Banyak suami yang beralasan agar istri tidak capek atau agar bisa fokus mengurus rumah tangga. Ia mengira bahwa pemikirannya tersebut sudah klop dengan pemikiran semua perempuan.

Padahal, perlu para suami ketahui dan ingat, karir istri yang ia jalani bisa jadi merupakan prinsip hidup yang sangat penting.

Jadi, sebelum suami melarang istri bekerja, sebaiknya kaum suami memahami hal-hal berikut ini.

1. Bisa Jadi, Karir Istri Adalah Cita-cita Sejak Kecil

Karir berkaitan dengan profesi serta cita-cita seseorang, termasuk bagi perempuan. Seperti cerita di atas, perempuan berperan di bidang kesehatan sebagai bidan.

Namanya cita-cita, semua orang bisa membayangkan sendiri bukan? Banyak orang sakit berbulan-bulan karena gagal masuk tes polisi, sedih karena tidak diterima bekerja, semisal seorang lulusan jurnalistik tidak bisa masuk di perusahaan media nasional. Padahal, semua proses itu seringkali ia tempuh dengan perjalanan yang tidak sebentar.

Begitu pula perempuan. Durasi sekolah sama dengan laki-laki, biaya sekolah juga tidak ada bedanya, mimpi untuk sukses dalam sebuah bidang juga sama saja.

Oleh karena itu, akan sangat problematis jika perempuan tidak punya pilihan setelah menikah. Suami melarang istri bekerja adalah pemutus cita-cita yang menjadi perjuangkan perempuan sejak kecil.

2. Perempuan Ingin Mandiri Secara Finansial

Setelah menikah, perempuan dilarang bekerja. Alasannya klise, nanti enak tidak perlu memikirkan pemasukan rumah tangga, fokus mengurus anak dan suami. Padahal, setahu saya, mengurus anak dan rumah tangga, termasuk melayani suami, sama lelahnya dengan bekerja kantoran. Malah seringkali tidak kenal waktu, tidak ada jeda yang jelas semisal ishoma (istirahat, sholat, makan) menjelang jam 12 hingga jam 14 yang biasa ada pada jam kerja karyawan.

Ibu rumah tangga tidak punya jam kerja yang jelas serta tidak punya pembagian tugas yang jelas juga. IRT bisa berperan banyak sepanjang hari, namun kebanyakan orang tidak menganggapnya perlu mendapatkan gaji yang pantas. Uang yang diterima IRT adalah uang belanja rumah tangga, bukan uang untuk keperluan pribadi.

Jika seorang IRT mematok pemberian untuk pribadi, orang sekitar malah seringkali menganggap IRT yang bersangkutan dengan pandangan kurang baik. Mulai dari matre, boros, tidak bersyukur, dan sebagainya.

Maka dari itu, wajar jika perempuan memiliki keinginan untuk mandiri secara finansial lewat karirnya. Selain mencintai passion yang ia miliki, istri juga tidak dibebani rasa malu bila sesekali ingin belanja kebutuhan pribadinya. Misal ingin punya skincare, tas yang bagus, atau mungkin ingin bersedekah dengan uangnya sendiri sesekali, dan tentu ingin membantu keuangan keluarga supaya ia merasa lebih berdaya. Bahkan ingin punya sedikit kebebasan untuk memberi kepada keluarganya. Misal ayah, ibu, adik, kakak, dan lain-lain.

3. Menghargai Jasa Orang Tua Istri

Saya jadi ingat perkataan seorang perempuan di facebook, “Perempuan tidak tumbuh dari tetesan hujan.” Rasanya itu benar adanya.

Perempuan sejak kecil dididik oleh orang tuanya, dibiayai sekolahnya. Bahkan tidak jarang pula orang tua banting tulang dan menjual harga diri dengan menghutang untuk membayar SPP. Demi apa? Ya, supaya anaknya terus sekolah dan menjadi orang sukses.

Kemudian pas menikah, eh… tiba-tiba suaminya dengan mudahnya berkata, “Jangan bekerja, supaya anak keurus, supaya bisa melayani suami dengan baik.” Malah, meminta istri berhenti meniti karirnya demi urusan domestik. Seolah tidak ada solusi lain.

Orang tua istri pasti punya impian dari hasil usahanya. Banyak orang tua ingin anaknya sukses menjadi seseorang.

Menyekolahkan anaknya di bidang kedokteran, pastilah orang tua ingin anaknya menjadi dokter. Membiayai kuliah di jurusan PGSD pasti orangtua minimal berharap anaknya berhasil menjadi guru SD.

Ketika menikah perempuan sudah memiliki ilmu mapan. Ada yang pintar ilmu kesehatan, ilmu parenting, psikologi, dan lain-lain. Ilmu tersebut tidak ia dapat dengan gratis tentunya. Jasa orang tuanya di balik semua itu.

Tentu suami melarang istri bekerja adalah perilaku yang kurang bijaksana. Apalagi beralasan bahwa ilmu tersebut bisa bermanfaat untuk anak-anaknya dan suami.

Namun kembali lagi kepada mindset perempuan itu sendiri serta orang tuanya. Jika memang sepakat dengan pemikiran suami, tentu tidak menjadi masalah lagi. Tapi jika sebaliknya? Ya, pastilah akan merasa kecewa.

Jadi, istri bekerja punya latar belakang yang tidak sederhana. Istri ingin mandiri secara finansial, ingin mewujudkan cita-cita, pekerjaannya adalah passion, hingga menghargai jasa orang tua.

Menyadari semua itu, yakin, suami melarang istri bekerja adalah sikap yang bijaksana?

You May Also Like

Leave a Reply