Tentang Kodrat Perempuan yang Memberatkan
Saya pernah mendengar bahwa kodrat perempuan itu hanyalah segala hal yang bersifat bawaan fisik seperti haid, mengandung, melahirkan, dan menyusui.
Namun, ketika saya mencoba mencari berbagai sumber, saya tidak menemukan bukti mengenai itu. Banyak situs bernuansa agama saya baca. Hasilnya bahwa kodrat wanita tidak hanya bawaan fisik, tapi juga ada yang namanya kodrat perempuan berupa psikis.
Kodrat psikis atau emosi inilah yang kemudian menjadi pemahaman multitafsir (untuk saya khususnya). Perempuan dalam bawaan psikologis nya adalah makhluk yang perasa, penyabar, penyayang, lembut, dan lain sebagainya.
Ciri-ciri demikian yang akhirnya berkaitan dengan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) perempuan itu sendiri. Ke mana arah tupoksi ini, saya yakin pembaca sudah bisa menebak. Ya, perempuan hanya pantas menjalankan tugas-tugas domestik. Tegasnya, perempuan ketika menikah berkewajiban menjadi seorang ibu rumah tangga. Nggak bosen mba bahas ibu rumah tangga mulu? Hehe saya akan terus bahas sampai bosan.
Lanjut..
Ah apa iya? Pembaca pasti juga paham bahwa sekarang ini perempuan punya pilihan. Tidak melulu harus jadi ibu rumah tangga, perempuan juga boleh berkarir. Buktinya, sekarang banyak perempuan bebas bekerja dan menempuh jenjang karir maupun berkarya.
Ya, betul. Itu tidak salah. Banyak juga tulisan bernuansa agama yang memberikan ruang itu. Agama membolehkan perempuan berkiprah di ranah sosial. Boleh bekerja dalam profesi apapun. Namun, ketika tugas rumah tangga sudah dinyatakan mutlak, maka tenaga perempuan sepertinya tidak cukup jika harus merambah peran sebanyak itu.
Kenyataannya, Perempuan Itu Punya Tenaga Terbatas untuk Berperan Ganda
Ibu rumah tangga pasti paham bahwa pekerjaan rumah tangga itu tidak ada habisnya. Bahkan, ada sebuah artikel di situs islami mengatakan bahwa ciri istri solihah salah satunya adalah yang mengurus rumah tangga dan tidak membiarkan suami melakukan tugasnya itu.
Tidak hanya satu, bahkan ciri perempuan sholihah ada sekian banyak poinnya. Apabila semua dibebankan kepada perempuan, saya yakin, jangankan ada kesempatan meniti karir (yang katanya boleh), rasanya seorang istri akan kena blacklist dari kata sholihah. Yang awalnya memuliakan perempuan, pada akhirnya pemahaman agama demikian justru sangat memberatkan kaum perempuan.
Saya tidak menolak hukum jika hukum yang disampaikan itu memiliki dalil yang kuat dan hasil penafsiran yang benar-benar kredibel. Jika sebuah hukum masih hitam putih berdasarkan dalil yang masih umum dan sifatnya debatable, rasanya sah-sah saja sebagai orang awam untuk mengkritisi itu. Jadi, hukum-hukum terkait kodrat wanita dalam situs-situs islami perlu sekiranya pertanyakan kebenarannya.
Kembali ke topik.
Pada dasarnya, perempuan yang sudah berumah tangga, akan memiliki banyak tugas. Mulai dari mengurus anak, menjamin perkembangan dan pendidikan sang anak, melayani suami, mengurus rumah dan sekaligus meniti karir yang menjadi cita-cita sejak kecil.
Memang, bagi sebagian istri, memilih fokus menjadi ibu rumah tangga itu mudah. Secara lugas, ada istri yang memang senang untuk menjadi ibu rumah tangga atau full time wife. Namun, tidak sedikit juga perempuan yang merasa bahwa aktualisasi diri dalam karir maupun sebuah karya itu penting, bahkan menjadi sebuah prinsip dan tujuan besar dalam hidup.
Apabila tuntutan aktualisasi diri ini bertemu dengan kriteria perempuan solihah yang saya singgung tadi, pastilah wanita karir akan jauh dari kata solihah. Berat pasti, jika dia masuk kategori perempuan yang tidak solihah, masuk kategori perempuan yang tidak mendapatkan ridlo suami, dan sebagainya.
Mengapa berat? Ya, bayangkan saja seorang istri berangkat kerja pagi dan pulang sore hari. Pulang kerja bisa saja dalam kondisi lelah dan mungkin sesekali membawa beban persoalan di dunia kerja. Rasanya tidak mudah memenuhi kriteria wanita solihah seperti yang disampaikan oleh banyak kalangan.
Perempuan yang bekerja tetap harus mengurus anaknya dengan baik, melayani suami tanpa kenal lelah, mengutamakan keluarga, dan lain sebagainya.
Akhirnya, mau tidak mau banyak perempuan yang harus memilih. Pilihan yang paling cocok dengan tuntutan hati nurani dan moral sosial dan agama adalah menjadi ibu rumah tangga. Seringkali bukan karena panggilan hati, namun karena terpaksa atau setengah terpaksa demi memenuhi kewajiban yang sebenarnya saya yakin masih perlu dikaji ulang. Benarkah semuanya itu adalah kewajiban seorang perempuan? Tugas yang mutlak tidak bisa diganggu gugat.
Jangan Lupa, Perempuan Punya Sejarah Perjuangannya Sejak Kecil
Perjuangan apa? Sama halnya dengan laki-laki, sejak kecil perempuan dibesarkan oleh orang tuanya dengan penuh kasih sayang dan sebongkah harapan. Adakah orang tua yang ketika anak perempuannya lahir, lalu memanjatkan harapan “semoga kelak engkau menjadi ibu rumah tangga yang baik ya nak”.
Setiap orang tua, tanpa perlu tersurat dan terucap, pasti berharap kelak anak perempuannya menjadi orang yang sukses. Sukses dalam arti yang sudah kita pahami sebagai bentuk kesuksesan di dunia karir. Sukses dalam sebuah karya dan manfaat luas bagi masyarakat, bangsa, dan agama.
Memang, bermanfaat bagi bangsa dan agama ini bisa dilakukan dengan melakukan tugas dalam partikel terkecil tatanan masyarakat berupa keluarga. Ya, menjadi seorang ibu dan istri di rumah saja. Cukup.
Namun, bila bertolak dari pengalaman dan pengetahuan saya, rasanya setiap orang tua ingin anaknya sukses dan menjadi “seseorang” saat sudah besar nanti. Ada harapan yang lebih besar daripada cakupan keluarga dan anak. Itu pasti. Silahkan tanya diri sendiri atau orang tua. Bertanya yang bukan sekilas, tapi dari hati ke hati dan perasaan terdalam.
Berbekal cinta dan kasih sayang serta asa yang membahana di hati, orang tua akan melakukan segalanya demi kebaikan anak. Bagi mereka yang harus bersusah payah, ada juga orang tua yang sampai berhutang ke sana kemari demi pendidikan yang tinggi untuk anak perempuannya. Bukan hanya keringat, namun bertarung dengan emosi dan air mata.
Itu jika berbicara soal orang tua. Belum lagi jika menyangkut perjuangan perempuan itu sendiri. Kita juga pasti paham bahwa cita-cita dimiliki oleh setiap orang tanpa mengenal gender. Tidak hanya laki-laki yang bercita-cita menjadi seseorang di kemudian hari, tetapi perempuan juga sama. Ingin mengaktualisasikan diri dalam sebuah karya, karir, peran sosial, dan lain sebagainya.
Untuk mencapai semua itu, setiap orang pasti melalui banyak sekali perjuangan. Belajar dengan giat, bersusah payah ketika tidak ada dukungan, berkorban waktu, tenaga dan mungkin pernah mengalami suka duka penuh emosi.
Setelah semua itu, perempuan lantas harus kembali kepada kodratnya. Boleh meraih apa yang ia cita-citakan tapi dengan syarat tetap melakoni tugas-tugasnya di ranah domestik. Ketika banyak yang tidak mampu, tidak sedikit perempuan yang akhirnya tidak bisa memilih. Apakah ini artinya perjuangan sejak kecil itu menjadi sia-sia?
Mirisnya, banyak perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga kemudian mengumpulkan segudang alibi atas pilihannya itu. Misalnya, sekolah tinggi lalu jadi ibu rumah tangga adalah untuk mengimbangi intelektual suami, nanti di akhirat Tuhan tidak akan menanyakan soal pekerjaan di kantor tapi bagaimana dia mengurus anak dan suami, dan banyak lagi yang saya kira sangat sangat jauh dari kata sepadan dengan perjuangan orang tua maupun dirinya di masa lalu.
Adil Bagi Perempuan Itu Bila Punya Pilihan dan Ada Bantuan untuk Kodrat Psikis
Bila memang kodrat perempuan berupa psikis itu sudah mutlak, ya anggaplah begitu. Perempuan misalnya harus mengurus semua pekerjaan domestik tapi boleh berkiprah di luar rumah, maka akan sangat adil rasanya jika pada prakteknya ada yang membantunya.
Hal ini karena sudah jelas bahwa sangat kecil kemungkinan perempuan biasa melakukan segalanya sendirian kan? Mungkin ada yang mampu, tapi pasti dia seorang wonder woman. Dan… saya bukan seorang perempuan sekuat itu. Hayhay
Saya yakin bukan hanya saya. Banyak perempuan yang tidak cukup tenaga untuk melakoni segalanya kan?
Oke, pembaca yang budiman…. Supaya tidak terlalu panjang, saya lanjutkan di tulisan “Tentang Kodrat Perempuan yang Memberatkan Part 2” ya. Selamat membaca.
Silahkan sampaikan pendapat Anda di kolom komentar. Sampaikan dengan kepala dingin, supaya tidak ada perang dingin antara kita.