Cerita Pengalaman Melahirkan Normal dengan BPJS di Rumah Sakit
Saya ingin bercerita tentang pengalaman melahirkan normal dengan BPJS di rumah sakit. Namun, khusus tentang lika-liku mendapatkan pelayanan BPJS nya saja ya. Bukan proses melahirkan. Adapun pengalaman melahirkan normal saya, boleh baca di cerita pengalaman melahirkan normal lancar, usia kandungan 41 minggu.
Melahirkan normal dengan BPJS di rumah sakit di lingkungan saya gampang-gampang susah. Kalau di daerah lain saya kurang paham.
Aturan Melahirkan di Fasilitas Kesehatan Sesuai Anjuran BPJS
Susah karena para bidan dan petugas kesehatan di Fasilitas Kesehatan (faskes) pertama selalu menghimbau bahwa BPJS untuk melahirkan normal selain faskes pertama (alias puskesmas rekomendasi) tidak dijamin bisa dipakai. Bukan tidak bisa dipakai ya. Tapi, “tidak dijamin”.
Aturannya memang begitu sih. Cuma, rasanya saya dan kawan-kawan bumil (ibu hamil) di puskesmas kok selalu tidak puas.
Inginnya lahiran di Rumah Sakit (RS) yang lokasinya lebih dekat dari rumah, persalinan ingin ditangani dokter yang sudah kenal, ingin di tempat yang kita merasa aman dari segi fasilitas dan layanannya.
Tapi, kami seolah dipaksa harus rela lahiran di faskes yang mungkin bagi beberapa bumil, jaraknya lumayan jauh serta fasilitas tidak sesuai keinginan. Ya, namanya melahirkan ingin dapat dukungan yang memadai dong. Bukan berarti faskes yang disarankan pihak puskesmas tidak baik. Namun, namanya kenyamanan bagi tiap orang beda-beda.
Sebenarnya aturan BPJS tadi wajar, mengingat faskes pertama untuk melayani persalinan normal juga sudah ada. Oleh karena itu, bagi para ibu hamil dengan kondisi baik tanpa resiko persalinan sangat didorong supaya mengikuti prosedur. Yaitu melahirkan normal di faskes pertama.
Seperti di puskesmas tempat saya periksa. Setiap bulan selalu ditekankan, bahwa BPJS bisa digunakan untuk persalinan normal hanya di faskes pertama. Jika ingin melahirkan di faskes kedua, maka tidak menjamin BPJS bisa digunakan. Artinya, bisa jadi biaya melahirkan akan dikenakan sebagaimana pasien umum, non BPJS.
Ah, dengan arahan seperti itu saya pun memutuskan untuk mengikuti aturan. Sayang kan, bayar BPJS setiap bulan kalau toh pada waktu dibutuhkan tidak bisa digunakan.
Survey ke Faskes Arahan Puskesmas
Akhirnya saya pun survey ke faskes pertama tempat untuk melahirkan. Tujuannya supaya di hari H, tidak gugup mencari lokasi yang konon kata beberapa bumil lain agak terpencil dari jalan besar.
Tapi tidak apa-apa, demi melahirkan minim budget. Begitu pikir saya dan suami. Apalagi melihat pelayanan di puskesmas yang baik, saya pun optimis untuk melahirkan di faskes pertama sesuai arahan bidan.
Alasan Saya Ragu Melahirkan di Faskes Anjuran BPJS
Puskesmas yang Nampak Sepi
Setiba di lokasi, saya cukup heran karena situasi di sana sepi. Seperti tidak ada kegiatan dan pelayanan sebagaimana puskesmas pada umumnya. Mungkin ini memang khusus untuk bersalin, kan tidak setiap hari orang melahirkan. Pikir saya dan suami.
Namun, setelah hari itu saya dan suami agak ragu untuk lahiran di sana. Kondisi sepi. Rasanya gimana gitu. Apalagi kita tidak kenal dengan bidan yang ada di sana. Biasa periksa oleh bidan puskesmas dan USG oleh obgyn di RSU di kota saya. Ah, pokoknya kurang mantap saja di hati.
Perjalanan Cukup Jauh dan Jalan Aspal Tidak Mulus
Saya dan suami pun naik sepeda motor ke lokasi yang ditempuh sekitar 20 menit. Agak jauh sih menurut saya. Selain itu, jalan menuju ke sana, kurang mulus walau jalan aspal. Rasanya mungkin akan cukup tidak nyaman bila dalam kondisi mulas mau melahirkan.
Saya pun mulai bertanya kepada beberapa ibu hamil yang sama-sama periksa rutin di puskesmas tempat saya periksa.
Ternyata kebanyakan mereka malah tetap berencana melahirkan di salah satu Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) yang cukup terkenal di kota saya. Sebut saja RSIA Bunda Rif. Alasannya memilih tempat itu karena perawat, bidan dan dokternya ramah dan bagus pelayanannya. Selain itu, fasilitas juga memadai.
Kata para bumil yang saya tanyai, di RSIA Bunda Arif BPJS bisa dipakai kok. Selain itu, lokasinya yang cukup strategis di pusat kota serta ada fasilitas yang memadai dan ada dokter kandungan (obgyn) juga.
Mencoba Alternatif, Survey ke RSIA Bunda Arif
Saya dan suami akhirnya memastikan sendiri ke tkp. Sekalian juga buat USG (ceritanya selingkuh dulu dari tempat USG sebelumnya). Kami ke loket pendaftaran dan langsung menanyakan apakah di situ BPJS bisa digunakan untuk persalinan normal.
Ternyata di sana bisa. Alasan CS di loket pendaftaran adalah bahwa “untuk apa bayar BPJS bu, kalau tidak bisa dipakai?” selorohnya sambil tersenyum. Eh betul juga, pikir saya. Tepatnya sih, dapat memilih pelayanan kesehatan yang kita rasa nyaman dan aman.
Kami pun menuju ruang tunggu untuk periksa. Makin lama, pasien yang mengantri makin banyak. Kayaknya tempat ini emang difavoritkan kali ya. Saya pun makin mantap deh mau bersalin di situ.
Kembali Ragu Melahirkan di RSIA Bunda Arif
Tiba waktunya dipanggil dan masuk ruangan periksa. Dokter kandungan nya laki-laki. Cuma, di ruang periksa pun akhirnya kami juga menemukan alasan untuk kembali ragu. Apakah akan melahirkan normal di sana. Wah, padahal banyak orang bilang tempat tu recomended lho.
Problem Naik Kelas BPJS
Pertama, kendala soal naik kelas untuk ruangan rawat inap. Hehe, apa saya dan suami terkesan rewel ya pemirsa?
Jadi gini, saya ikut bpjs kelas tiga. Sebelum ada pengumuman bpjs akan naik dua kali lipat, kami mendaftar sebagai peserta bpjs kelas satu. Karena nanti setelah naik tarif bulanan dikalikan jumlah anggota keluarga sama dengan harga cicilan motor, maka suami iseng mengganti kelas dari kelas satu ke kelas tiga.
Eh ternyata tidak bisa diubah lagi selama setahun ke depan. Padahal selama empat tahun kami iuran bulanan sebagai kelas satu. Sangat jarang bahkan hampir tidak pernah menggunakan bpjs selama ini. Eh, saat dibutuhkan malah harus menerima pelayanan kesehatan sebagai kelas tiga.
Bayangkan, pemirsa… 4 tahun lho iuran bulanan BPJS kelas 1, saat mau dipakai malah pake kelas 3! (diulang biar greget). Makanya saya dan suami dilatarbelakangi rasa menyesal itu. (walau salah sendiri sih, pake otak atik aplikasi segala wkwk) Sehingga kami pun sangat memperjuangkan bisa naik kelas minimal untuk ruangan rawat inap saja. Tentunya tanpa harus mendapatkan kenaikan tarif yang begitu besar.
Nah, sayangnya di situ setelah kami tanyakan kepada perawat di ruang USG, katanya jika naik kelas maka paket biaya bpjs ikut naik bersama biaya perawatan selama bersalin. Jadi, nantinya tidak hanya bayar tambahan untuk ruangan, tapi juga ada tambahan tarif iuran. Kalau diperkirakan lumayan besar lah untuk kami.
Suami Kurang Cocok dengan Dokternya, Hmmm
Alasan kedua, yang membuat kami ragu bersalin di situ karena suami tidak cocok dengan dokternya. Kata suami sih dokternya terlalu cuek dan tidak memberikan informasi yang dibutuhkan. Entah karena dokternya lelah, karena waktu itu sudah sore banget dan pasien antri begitu banyak.
Ya, entahlah yang pasti suami bersikukuh sepertinya dokter itu tidak akan nyaman untuk saya maupun suami sebagai orang yang mendampingi. Ya, perkiraan suami akan banyak berinteraksi dengan sang dokter. Itu alasannya.
Kelas Tiga Mendapat Ruang Inap Kurang Layak
Dan alasan ketiga, saya mendapatkan informasi bahwa untuk kelas tiga, di sana ruangan rawat inapnya sangat memprihatinkan. Memang saya tidak melihat langsung karena keterbatasan waktu dan tenaga saya di hamil tua. Namun, banyak testimoni pelanggan di web serta mendapat info langsung dari teman yang pernah rawat inap sebagai kelas tiga di sana. Yah, auto ga yakin lagi buat bersalin di sana. Kalaupun mau naik kelas, ya itu tadi seperti saya sebutkan di atas. Akan lebih mahal.
Artinya, ya kayaknya mending di puskesmas aja deh. Balik lagi ke rencana semula. Sama dokter di RSIA Bunda Arif juga sama-sama belum kenal. Dokternya laki-laki pula. Di puskesmas juga ga kenal dengan bidannya. Walau sepi, fasilitas tidak sebaik faskes dua, namun saya insyaallah melahirkan normal dengan lancar. Saya dan suami memantapkan hati. Jadi, di puskesmas pun sepertinya akan lancar dan baik-baik saja. Perihal budget, jelas akan lebih hemat pula.
Jadinya Melahirkan di Rumah Sakit Umum (RSU) St. Elizabeth, Dokter Kandungan nya Sudah Kenal Pula
Kok bisa? Jadi, sekitar dua hari sebelum Hari Perkiraan Lahir (HPL), suami tidak sengaja membuka status WhatsApp teman kuliah yang tingal satu RT. Ternyata sudah melahirkan. Kami pun mengucapkan selamat. Sampai spontan bertanya, “Eh lahiran di mana istrinya, Mas?” Ternyata persalinan di RSU yang merupakan faskes kedua. Pake BPJS melahirkan normal. Sebut saja RSU St. Elizabert.
Hanya saja, teman suami melalui tindakan khusus. Diinduksi karena pecah ketuban sebelum kontraksi. Tapi singkat cerita bisa melahirkan normal di RSU St. Elizabert dengan bpjs. Dan menurut informasi yang didapatkan teman tersebut, melahirkan tanpa tindakan khusus juga bisa kok pake bpjs di RSU itu, katanya.
Alasan Melahirkan di RSU Santa Elizabeth
Kami pun berencana datang langsung ke lokasi untuk memastikan. Kalau bisa di sana, kenapa harus di tempat lain kan?
Dokternya Sudah Lama Kenal
Kebetulan RSU St. Elizabert itu adalah tempat saya rutin USG sejak kandungan umur 5 bulan. Selain itu, dokter nya sudah kenal lama.
Tibalah hari persalinan. Sebenarnya lewat 7 hari dari hpl. Namun singkat cerita, pagi hari saya merasa mulas, lalu setelah dirasa bahwa mulas itu benar-benar pertanda akan melahirkan, saya pun ditemani suami berangkat ke RSU tersebut. Kami langsung masuk IGD dan menemui perawat.
Bisa Melahirkan Normal dengan BPJS
Pas diperiksa dalam, rupanya sudah bukaan empat. Kebetulan pas. Ada kabar bahwa bpjs bisa dipakai dengan syarat ke RSU St. Elizabert minimal sudah bukaan empat.
Namun versi obgyn saya, mau bukaan brapa pun bisa melahirkan normal pake bpjs di RSU St. Elizabert. Memang banyak orang kemudian bilang RSU itu terkenal fleksibel.
Ya, intinya sih RSU St. Elizabert menerima pasien melahirkan normal. bpjs bisa digunakan tanpa syarat harus mendapat rujukan dari puskesmas yang menjadi faskes pertama serta tidak disyaratkan harus bukaan di atas sekian baru bisa pake bpjs.
Ada Kemudahan Naik Kelas untuk Ruang Rawat Inap
Kabar baiknya, RSU itu juga melayani kenaikan kelas untuk ruang rawat inap. Bisa hanya membayar untuk kenaikan fasilitas ruang rawat inap saja, tidak termasuk penanganan saat melahirkan. Jadi, berbeda dengan RSIA Bunda Arif yang saya survey sebelumnya.
Oh ya, selain itu, hal penting kenapa memilih RSU ini juga karena ruangan rawat inapnya sudah cukup saya tahu kondisinya. Saya lumayan sering menjenguk teman atau kenalan yang dirawat di sana. Saya dan suami merasa fasilitas nya cukup memuaskan dan layak walau harus menginap di ruangan kelas tiga sekalipun.
Namun kebetulan suami berhasil mendapatkan ruangan rawat inap kelas dua. Saya lupa sebabnya. Apakah karena ruangan kelas satu dan di atasnya lagi sudah penuh atau memang hanya boleh naik satu tingkat.
Saya ditemani suami rawat inap selama satu malam. Alhamdulillah kondisi saya dan bayi sudah memungkinkan untuk pulang keesokan harinya.
Biaya Melahirkan Norman dengan BPJS di RSU St. Elizabeth
Sebelum pulang, suami dipanggil ke bagian administrasi. Total tagihan untuk persalinan normal dan rawat inap adalah 4,5 juta. Tapi, karena kami ikut bpjs maka perlu menaruh jaminan setengah harga tadi. Suami membayar 2,25 jt. Pihak administrasi menyampaikan bahwa nanti bpjs akan menghitung kalkulasinya berapa yang perlu dibayarkan ke RSU oleh kami dan berapa yang ditanggung bpjs.
Sebenarnya ada beberapa kemungkinan. Uang kami akan kembali sebagian, kembali sebagian kecil saja atau malah harus nambah alias bayar lagi. Semua tergantung hasil perhitungan pihak bpjs.
Selang sekitar dua minggu, suami mendapatkan telepon dari pihak RSU yang memberitahukan bahwa uang kami dikembalikan. Total yang dikembalikan kepada kami sebanyak 1,75 jt. Artinya total yang kami bayar ke RS untuk persalinan normal plus naik kelas satu tingkat untuk satu malam adalah 500 ribu.
Lumayan murah untuk ukuran biaya persalinan di RS yang besar. Mengingat fasilitas, pelayanan, tergolong bagus.
Penutup
Jadi, itu cerita saya melahirkan normal dengan bpjs di Rumah Sakit ya Bunda-bunda.
Kuncinya, jika ingin mendapatkan tarif bpjs tapi melahirkan di faskes yang kita inginkan, harus survey langsung ke lokasi. Tanya langsung pihak klinik atau RS yang bersangkutan. Hal yang perlu diingat adalah bahwa jangan kecewa jika ternyata RS atau klinik yang Bunda harapkan ternyata tidak pro bpjs.
Dan lagi, mengingat aturan bpjs yang mengharuskan mengikuti alur. Sebenarnya pada prakteknya menurut saya fleksibel saja. Saya lebih senang jika kita sebagai pasien tidak terikat aturan harus mendapatkan penanganan di tempat ini atau itu. Seringkali pasien terkendala jarak rumah dengan faskes, kenyamanan, kepercayaan terhadap dokter fasilitas, dan sebagainya.
Sebagai pasien dan pengguna BPJS, kisah melahirkan normal di RSU dengan bpjs itu membuat saya senang dan puas.
Sumber gambar dari Postal Sumut.
Itu cerita saya melahirkan normal dengan BPJS di Rumah Sakit. Bagaimana cerita Bunda?