Saat Kesadaran Menjadi Kompas bagi Rasa
Teman-teman pembaca, pasti pernah dikuasai perasaan yang tidak bisa dijelaskan: muncul begitu saja, diam-diam tumbuh, lalu tanpa permisi menguasai pikiran. Kita mencoba rasional, tapi rasa justru semakin riuh. Kita berpikir itu karena seseorang, padahal sesungguhnya, badai itu hanya berputar di dalam diri kita sendiri.
Menariknya, orang yang menjadi sumber gejolak itu sering kali sama sekali tidak tahu-menahu. Ia tidak sedang memikirkan kita, tidak merasakan hal yang sama, bahkan mungkin tidak menyadari bahwa kehadirannya sedang menjadi pusat gravitasi bagi hati orang lain.
Di titik inilah kesadaran seharusnya hadir — bukan untuk mematikan rasa, tetapi untuk menjadi kompas yang menuntun arah, agar kita tidak tersesat di pusaran yang kita ciptakan sendiri.
Rasa yang Berputar di Dalam Diri
Jika direnungkan, perasaan — terutama yang intens — sesungguhnya tidak berada di luar diri. Ia tidak menempel pada orang yang kita sukai, tapi hidup di dalam persepsi, ingatan, dan tafsir kita tentang orang itu.
Contohnya saja, saat kita mengagumi seorang selebritis – meskipun itu mungkin sebatas kagum atas penampilannya – jelas sekali bahwa orang yang bersangkutan tidak mengenal kita. Bahkan meskipun rasa kagum itu begitu besar, tetap saja selebritis itu tidak tahu menahu.
Begitu pula jika dibalik. Kita menjadi sosok yang dicintai, misalnya. Kita tidak akan menyadari jika mungkin ada dua atau lebih, orang-orang yang diam-diam mengagumi, hingga jatuh cinta – sampai menjadi siang, malam, dan pagi bagi mereka – maka kita sama sekali tidak tahu itu.
Saya bisa mencontohkan dari apa yang pernah saya alami ketika masih single di masa remaja. Hanya contoh saja, tanpa maksud flexing, supaya ini jadi lebih rasional. Waktu itu, saya masih SMA, tiba-tiba ada dua orang lawan jenis di waktu yang sama mengungkapkan rasa. Padahal saya tidak pernah mengenal mereka sebelumnya. Kadang ada juga di waktu terpisah, seseorang yang saya tidak pernah sangka isi hatinya.
Mereka menyampaikan, kurang lebih seperti dibahas di atas. Saya menjadi semacam mimpi di malam-malam mereka. Tentunya saya tidak pernah menyadari itu. Saya juga tidak pernah bisa merasakan apa yang mereka rasa. Betapa berat memang.
Namun, inilah pentingnya kesadaran. Terutama di masa dewasa, terlebih ketika harus belajar berpikir dan merasa dengan dominasi logika. Bahwa apa yang kita rasakan hanya terjadi di dalam diri kita saja, tidak ada kaitannya dengan yang menjadi objek rasa.
Filsuf fenomenologi seperti Edmund Husserl pernah menjelaskan bahwa kesadaran selalu bersifat intentional — artinya, setiap kesadaran selalu “mengarah pada sesuatu”, tetapi yang diarahinya tidak selalu nyata secara objektif. Yang kita rasakan bukanlah orang itu secara faktual, melainkan makna tentang dirinya yang hidup di dalam kesadaran kita sendiri.
Itu sebabnya, perasaan yang terasa begitu “nyata” sebenarnya tidak keluar dari batin kita. Ia seperti film yang kita putar berulang kali di ruang dalam kepala — dengan imaji, kenangan, dan harapan yang kita bentuk sendiri. Orang lain mungkin hadir di layar, tapi proyektornya berasal dari dalam diri kita.
Dari sudut pandang psikologi modern, hal ini juga bisa dijelaskan. Penelitian oleh Lisa Feldman Barrett (2017) dalam Theory of Constructed Emotion menunjukkan bahwa emosi bukan sesuatu yang pasif datang dari luar, melainkan “dibangun” oleh otak berdasarkan prediksi, pengalaman, dan konteks internal. Dengan kata lain, rasa itu bukan datang karena orang lain membuat kita merasakannya — tetapi karena pikiran kita sendiri yang mengonstruksi maknanya.
Antara Realita dan Imaji yang Kita Ciptakan
Sering kali, perasaan yang kuat membuat kita kehilangan jarak pandang terhadap realita. Kita merasa dekat, padahal mungkin sebenarnya tidak. Kita merasa mengerti, padahal yang kita pahami hanyalah versi imajinatif dari orang itu — bukan dirinya yang sebenarnya.
Filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre menyebut pengalaman ini sebagai bad faith, yakni saat seseorang menolak melihat kenyataan sebagaimana adanya karena terlalu larut dalam perannya sendiri. Dalam konteks rasa, kita kerap berperan sebagai “pemeran utama” dalam kisah yang hanya kita tulis sendiri. Kita merasa berhak merasakan, bahkan berhak kecewa, padahal “tokoh lain” dalam kisah itu tidak pernah ikut bermain.
Di sini pula letak pentingnya kesadaran. Kesadaran mengembalikan kita pada pijakan yang nyata: bahwa dunia tidak berputar di sekitar rasa yang kita miliki, dan bahwa setiap orang berhak menjalani hidupnya tanpa harus memikul tafsir emosi orang lain.
Ketika Kesadaran Menenangkan Gelombang
Kesadaran tidak datang untuk menolak perasaan, tetapi untuk menyinari ruang di mana rasa itu tumbuh. Ia memberi jarak agar kita bisa melihat dengan lebih jernih — bukan menekan, tapi mengamati. Dalam tradisi filsafat Timur, terutama dalam Buddhisme, ini disebut mindfulness, kesadaran penuh yang tanpa penghakiman terhadap apa pun yang hadir di dalam batin.
Penelitian dari Jon Kabat-Zinn (2013) tentang Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) bahkan menunjukkan bahwa ketika seseorang mampu menyadari emosinya tanpa bereaksi berlebihan, aktivitas bagian otak yang memicu stres akan menurun secara signifikan. Artinya, kesadaran bukan sekadar konsep spiritual, tapi juga kemampuan biologis untuk menjaga kestabilan diri.
Dalam praktiknya, kesadaran membuat kita bisa berkata, “Aku sedang merasakan ini, tapi aku bukan rasa ini.”
Kalimat sederhana itu memisahkan diri kita dari emosi yang semula tampak menyatu.
Dan ketika jarak itu muncul, badai di dalam dada mulai reda.
Belajar Realistis Tanpa Kehilangan Kepekaan
Bersikap realistis bukan berarti menjadi dingin atau kehilangan rasa. Realistis berarti memahami bahwa tidak semua yang kita rasakan harus diwujudkan, tidak semua keinginan harus diikuti. Ada hal-hal yang lebih besar daripada sekadar memenuhi dorongan batin — seperti etika, tanggung jawab, dan keseimbangan hidup.
Kesadaran membuat kita tahu kapan rasa harus dibiarkan mengalir, dan kapan harus berhenti.
Ia tidak mematikan getar hati, tapi memberi arah: bahwa kadang, yang paling bijak bukanlah memperjuangkan rasa, melainkan menjaga nilai-nilai yang lebih dalam — seperti integritas, martabat, dan kedewasaan.
Dalam kacamata objektif, kita akan melihat bahwa ada hal-hal yang lebih penting daripada keinginan pribadi: profesionalitas, keluarga, bahkan kehormatan diri. Namun, kesadaran sejati tidak menghukum rasa; ia hanya menempatkannya kembali di posisi yang semestinya — bagian kecil dari kehidupan, bukan pusatnya.
Menutup dengan Keheningan yang Menjernihkan
Pada akhirnya, kesadaran adalah tempat kita pulang setelah rasa menempuh jalannya sendiri.
Ia seperti cahaya kecil di tengah kabut, menuntun tanpa memaksa, lembut tapi tegas.
Mungkin benar, apa yang kita rasakan hanyalah badai di dalam diri sendiri.
Orang yang kita pikir menjadi sumbernya, sebenarnya hanyalah bayangan di cakrawala — indah, tapi tidak untuk digapai.
Dan dari kesadaran itulah, kita belajar untuk tetap hidup dengan tenang, tanpa kehilangan rasa, tanpa tenggelam di dalamnya.
Referensi:
Barrett, L. F. (2017). How Emotions Are Made: The Secret Life of the Brain. Houghton Mifflin Harcourt.
Husserl, E. (1913). Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology.
Sartre, J.-P. (1943). Being and Nothingness.
Kabat-Zinn, J. (2013). Full Catastrophe Living: Using the Wisdom of Your Body and Mind to Face Stress, Pain, and Illness.