Refleksi UTS: Saat Kejujuran Lebih Berarti dari Jawaban Benar
Beberapa waktu lalu, saya baru saja selesai menyelenggarakan Ujian Tengah Semester (UTS) di enam kelas yang saya ampu. Rutinitas yang tampak biasa saja — membagikan soal, mengawasi, lalu menilai — ternyata menyisakan banyak hal untuk direnungkan.
Setelah selesai di enam kelas, di akhir pekan, saya merefleksikan berbagai hal. UTS tidak hanya menjadi ajang evaluasi akademik, tapi juga menjadi cermin kecil tentang moralitas dan karakter mahasiswa. Ada rasa yang hangat sekaligus getir ketika saya melihat beragam sikap di ruang ujian: kejujuran, ketertiban, hingga godaan untuk menyontek.
Sebagai dosen muda yang masih belajar memahami dunia pendidikan tinggi, saya menyadari bahwa ujian tidak hanya menguji pengetahuan, tapi ternyata juga kepribadian. Nilai bisa saja menjadi angka di kertas, namun di balik angka itu ada kisah tentang integritas, kesungguhan, dan kejujuran. Dan dari sanalah refleksi ini bermula.
Ujian yang Sebenarnya
UTS memang hanya sebagian kecil dari perjalanan belajar. Bagi mahasiswa, UTS di satu mata kuliah merupakan satu dari sekian banyak proses belajar. Ada banyak mata kuliah lain, jenis-jenis ujian lain, teori, praktek, kegiatan ekstra kulikuler, organisasi, hingga dunia sosial mahasiswa yang lebih luas.
Namun, meskipun tampak merupakan proses kecil, justru di ruang ujian itu, watak seseorang kadang terlihat paling jelas. Saat aturan sudah disampaikan — tidak menyontek, tidak berdiskusi, tidak membuka ponsel — sebagian besar mahasiswa patuh dengan penuh kesadaran.
Mereka menata tas di depan kelas tanpa disuruh, duduk rapi, dan siap dengan alat tulisnya. Bahkan ada mahasiswa yang dengan sopan bertanya, “Bu, apakah tas saya sebaiknya diletakkan di depan?” Pertanyaan sederhana itu justru menyentuh saya. Ada kesadaran moral yang lahir bukan karena takut, tapi karena menghargai proses.
Di sisi lain, dari puluhan mahasiswa, hanya dua orang yang saya lihat mencoba melanggar aturan — satu terlihat menyontek, satu lagi sibuk mengintip ponsel di bawah meja. Jumlah yang kecil, tapi cukup membuat saya merenung panjang.
Bukan karena saya marah, tetapi karena perilaku seperti itu mengingatkan bahwa integritas bukan sesuatu yang otomatis tumbuh bersama usia atau gelar. Ia perlu ditanam, dirawat, dan diuji — salah satunya melalui momen sekecil ujian di kelas.
Dalam jurnal Ethics and Education karya Warnick & Silverman (2011), disebutkan bahwa pendidikan moral bukan hanya terjadi di ruang diskusi nilai, melainkan dalam “momen keseharian di mana keputusan kecil menjadi cerminan besar dari karakter seseorang.”
Saya merasa kalimat itu tepat menggambarkan apa yang terjadi di ruang ujian hari itu. Menyontek mungkin terlihat remeh, tapi ia bisa menjadi retakan kecil yang menandakan rapuhnya fondasi etika seseorang.
Ketulusan Belajar yang Mengharukan
Di tengah kekecewaan kecil itu, ada juga pemandangan yang justru menghangatkan hati. Saya melihat mahasiswa yang datang terlambat, meminta maaf dengan tulus, lalu duduk terpisah agar tidak mengganggu yang lain. Ia mengerjakan soal dengan penuh kesungguhan.
Saat saya koreksi lembar ujiannya, hasilnya tidak sempurna, bahkan banyak jawaban yang salah. Tapi saya tahu, setiap tulisan di lembar jawabannya adalah hasil pikirannya sendiri. Dan di mata saya, itu jauh lebih bernilai daripada lembar jawaban yang sempurna tapi tidak jujur.
Dari situ saya belajar bahwa kejujuran akademik bukan sekadar urusan benar atau salah, tapi tentang menghargai diri sendiri. Dalam sebuah penelitian oleh Langlais & Bent (2014) di Journal of Moral Education, dijelaskan bahwa “academic integrity strengthens personal identity — it teaches individuals to align their actions with their values.” Kejujuran bukan hanya soal tidak menyontek, tapi tentang bagaimana seseorang menjaga keselarasan antara pengetahuan dan nuraninya.
Saya percaya, nilai sejati dari ujian bukanlah angka di transkrip, melainkan kesadaran diri bahwa ilmu itu suci. Ia harus diperoleh dengan cara yang jujur, karena dari kejujuran itulah tumbuh rasa percaya diri yang sejati. Ilmu yang didapat dengan cara curang hanya akan menghasilkan kebanggaan semu, dan cepat atau lambat akan kehilangan maknanya.
Bukan hanya itu, pelanggaran terhadap aturan ujian tadi juga merupakan sebuah sikap yang mencederai hubungan baik guru dengan murid. Meminjam ucapan guru saya di pesantren, sikap membangkang aturan secara sembunyi ataupun terang-terangan adalah hal-hal yang “mengganggu keikhlasan” seorang guru.
Dari Kelas ke Dunia Profesional
Sering saya pikirkan, bagaimana ujian sederhana di ruang kelas itu adalah gambaran kecil dari ujian kehidupan yang lebih besar. Dunia kerja, dunia profesional — semuanya juga ujian. Bedanya, tidak ada dosen yang mengawasi, tidak ada lembar soal, dan tidak ada timing 90 menit. Tapi aturan moralnya tetap sama: etika dan kejujuran adalah hal yang paling menentukan.
Saya percaya, seseorang yang terbiasa menyontek dalam hal kecil, akan mudah tergoda untuk memanipulasi dalam hal besar. Sebaliknya, mereka yang belajar jujur meski nilainya biasa-biasa saja, justru sedang membangun fondasi yang kokoh untuk masa depannya.
Etika profesional tidak muncul tiba-tiba ketika seseorang mulai bekerja. Ia lahir dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang dibentuk sejak di bangku kuliah. Saat seorang mahasiswa memilih untuk tidak membuka ponsel di tengah ujian, ia sedang melatih dirinya menjadi pribadi yang bisa dipercaya di dunia kerja nanti. Dan ketika ia menulis jawabannya dengan apa adanya, ia sedang menulis integritasnya sendiri.
Menjaga Kemurnian Ilmu
Saya sering berpikir, ilmu itu seperti air jernih. Ia menyejukkan siapa saja yang haus pengetahuan, tapi bisa keruh kalau tercemar oleh niat yang salah. Kejujuran adalah wadah yang menjaga kemurnian air itu.
Karena itu, saya merasa bahagia setiap kali melihat mahasiswa yang tetap tenang, mengerjakan soal dengan sungguh-sungguh, tanpa tergoda mencari jalan pintas. Mereka mungkin tidak mendapatkan nilai tertinggi, tapi mereka telah menang dalam ujian yang lebih penting — ujian moral.
Bagi saya, UTS kali ini bukan hanya tentang siapa yang bisa menjawab paling benar, tapi siapa yang bisa tetap jujur di tengah peluang untuk berbuat curang. Dan di antara puluhan mahasiswa itu, saya melihat banyak wajah yang tulus, yang percaya bahwa kejujuran lebih penting daripada sekadar jawaban benar. Dari merekalah saya belajar arti sebenarnya dari menjadi manusia berilmu.
Penutup: Kejujuran, Nilai yang Tak Pernah Kadaluarsa
UTS mungkin hanya berlangsung beberapa jam, tapi nilai-nilai yang saya saksikan di dalamnya akan saya ingat jauh lebih lama. Saya belajar bahwa menjadi pendidik bukan sekadar mengajar materi, tapi juga menyaksikan bagaimana ilmu berjumpa dengan moral.
Kejujuran mungkin tidak selalu memberi nilai tinggi di kertas, tapi ia memberi ketenangan dalam hati. Dan bagi saya, itu adalah nilai tertinggi yang tidak bisa digantikan oleh angka berapa pun.
Referensi
- Warnick, B. R., & Silverman, S. K. (2011). A framework for professional ethics courses in teacher education. Ethics and Education, 6(3), 247–259.
- Langlais, P. J., & Bent, B. (2014). Integrating moral reasoning and academic integrity education. Journal of Moral Education, 43(2), 183–197.
