Perempuan Tidak Hanya Butuh Uang, Tapi Juga Ruang
Banyak laki-laki — termasuk para suami — yang merasa istrinya tidak bersyukur karena sesekali mengeluh soal pekerjaan rumah. Padahal, yang dibutuhkan seorang istri tidak selalu sekadar uang untuk belanja atau bayar tagihan. Dia juga butuh ruang. Ruang untuk bernapas, berkembang, dan merasa dirinya berharga sebagai manusia.
Lebih mirisnya lagi, saya sering membaca curhatan di media sosial, bahwa banyak juga ternyata suami yang bahkan nafkahnya pun tidak memadai, tapi tetap melabeli istrinya “tidak bersyukur” ketika sang istri merasa lelah. Uang saja tidak diberi cukup, apalagi ruang.
Kondisi seperti ini bukan hanya membuat hubungan renggang, tapi juga membuat istri merasa hidupnya seperti “robot rumah tangga” tanpa kesempatan mengembangkan diri.
Bukan Hanya Piring yang Perlu Terisi, Hati dan Pikiran Juga
Sering kita dengar dalam ceramah atau nasihat tokoh agama yang berkata, “Istri itu cukup di rumah, yang penting kulkas penuh.” Kedengarannya sederhana, tapi sebenarnya menyederhanakan kebutuhan seorang perempuan secara keliru.
Ada juga yang bilang, “Tugas istri itu mudah, tinggal diam di rumah, fokus saja mengurus pekerjaan rumah dan anak-anak.”
Wah, di sini saya mulai geleng-geleng kepala. Pasalnya ini sering sekali diucapkan kaum laki-laki. Bahkan salah satu penggalan ceramah tokoh agama.
Memang tidak semua laki-laki berpikiran seperti itu. Namun, di era kesetaraan seperti sekarang, rasanya sudah “bukan zamannya lagi” ada laki-laki, terlebih kaum pemuka agama yang masih berkata seperti itu.
Sebagaimana kita tahu, pekerjaan rumah dan urusan anak itu tidak ada habisnya. Bahkan termasuk kegiatan melelahkan yang monoton dan bisa menimbulkan gangguan psikis.
Maka dari itu, tak salah jika perempuan itu bukan hanya butuh makanan di meja, tapi juga nutrisi untuk pikirannya. Kalau semua waktunya hanya tersedot untuk menyapu, mengepel, dan memasak, tanpa ada waktu untuk mengasah kemampuan, lama-lama rasa percaya dirinya terkikis. Dia kehilangan semangat, bahkan bisa kehilangan jati diri.
Menyoal Niat Istri Bekerja
Memang, idealnya istri bekerja hanya niat untuk berkarya, karena kewajiban nafkah ada pada suami. Ini yang menjadi landasan pemahaman yang berkembang, bahwa kalau istri bekerja dengan niat mencari nafkah, maka rumah tangga menjadi tidak berkah.
Namun, menurut saya, pernyataan ini bisa membatasi, apalagi untuk keluarga ekonomi menengah ke bawah. Saya sudah mengulasnya sebelumnya di Benarkah Istri Bekerja Bisa Mengurangi Berkah Rumah Tangga?
Ketika istri bekerja dengan kesepatakan nanti penghasilannya untuk membantu suami, maka suami akan dengan lebih tenang mengizinkannya. Ini akan lebih relate lagi jika pekerjaan istri membuat suami harus ikut mengerjakan pekerjaan domestik dan anak-anak.
Nah, banyak praktik rumah tangga seperti ini. Istri tetap tidak kehilangan karirnya, suami tetap bekerja, lalu pekerjaan domestik dikerjakan bersama. Semua dilakukan bersama dengan kesepakatan nanti penghasilan bersama untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Penghasilan istri memang jatuhnya bukan “nafkah” dari istri ke suami. Ini memang jadi salah secara agama. Namun, nilainya menjadi sedekah. Sifatnya tentu bukan kewajiban istri, tapi jika dijalankan membuat rumah tangga lebih kompak dan kuat, tidak ada salahnya istri bekerja dengan niatan membantu suami.
Penelitian dan Sumber Agama yang Mendukung
Bukan cuma perasaan semata, kebutuhan perempuan untuk mengaktualisasikan diri sudah dibuktikan secara ilmiah. Penelitian dari American Psychological Association menemukan bahwa perempuan yang memiliki kesempatan berkembang di luar pekerjaan domestik memiliki tingkat kebahagiaan dan kesehatan mental lebih tinggi. Mereka juga lebih mampu menjaga kualitas hubungan dengan pasangan.
Dalam pandangan Islam, sebenarnya pintu kebolehan perempuan bekerja itu terbuka luas selama tidak melanggar syariat. Rasulullah SAW pernah memberi izin kepada istri-istri beliau untuk beraktivitas di luar rumah. Bahkan, dalam sejarah Islam, banyak sahabiyah yang berdagang dan bekerja — seperti Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi yang dikenal sebagai pengusaha sukses.
Artinya, bekerja bagi perempuan adalah hak, bukan sekadar izin belas kasihan dari suami.
Dampak Buruk Jika Hanya Diberi Uang, Tanpa Ruang
Ketika suami hanya memberikan nafkah tapi menutup rapat kesempatan istri untuk berkembang, pelan-pelan itu bisa membunuh semangat hidupnya. Bahkan lebih parah jika uang pun tidak cukup, tapi ruang juga tidak ada.
Dalam situasi ini, istri bisa merasa diperlakukan seperti “pekerja rumah tangga gratis” yang juga harus memenuhi kebutuhan biologis suami tanpa adanya penghargaan. Hubungan yang dibangun di atas ketidakadilan seperti ini sulit tumbuh menjadi rumah tangga yang sehat.
Tentunya ini dengan catatan, istri yang memang menginginkan “ruang” berkarya atau berkembang dari segi pekerjaan, karir, atau penghasilan. Karena memang tidak sedikit juga istri yang justru mengingkan peran full time wife and mom dengan sukarela.
Menghargai Istri sebagai Manusia Utuh
Seorang istri bukan hanya “mesin” yang mengurus rumah, tapi manusia yang punya mimpi, keinginan, dan hak untuk mengembangkan diri. Ketika suami bisa melihat pasangannya sebagai manusia utuh — dengan hak, potensi, dan kontribusi — hubungan rumah tangga akan lebih harmonis.
Bagi para istri, memperjuangkan hak untuk berkembang bukan berarti menolak kodrat atau melawan suami. Itu justru bagian dari menjaga kesehatan mental, harga diri, dan kualitas hidup.
Penutup
Memberi nafkah itu kewajiban, memberi ruang itu tanda cinta. Rumah tangga yang sehat bukan hanya dibangun dari beras yang tersedia di dapur, tapi juga dari kesempatan yang adil untuk tumbuh bersama.
Bagaimana menurutmu? Tulis pendapat kamu di kolom komentar, ya.