Memaknai Setetes Kebaikan Saat Menolong Orang Lain
Ada sebuah renungan tentang menolong orang lain. Apakah benar itu murni karena kebaikan kita? Atau justru balasan Allah untuk kebaikan yang pernah dilakukan orang yang kita tolong?
Ceritanya, kemarin sore sekitar pukul 14.00 saya memberikan bantuan kepada seorang ibu. Sebutlah namnya Ibu Ayu. Saya lupa tidak berkenalan hingga kami berpisah.
Dari Menawarkan Ongkos QRIS di Bus Hingga Mengantarkannya ke Stasiun

Saya hendak pulang dari terminal Bulupitu Purwokerto bersama anak bungsu saya. Setelah masuk bus Trans Banyumas, saya scan QRIS untuk membayar ongkos. Bus dalam kota ini tidak menerima pembayaran cash.
Setelah selesai, ada Ibu Ayu memasuki pintu bus dan bertanya apakah bus berhenti di Stasiun Purwokerto? Sopir pun mengiyakan, namun nanti Ibu Ayu turun di Pasar Pon. Barulah dari Pasr Pon, Ibu Ayu bisa berjalan ke Statsiun Pintu Barat.
Ibu Ayu pun setuju. Namun, saat mau memberikan ongkos berupa uang cash, sopir menanyakan apakah beliau punya kartu Teman Bus atau uang digital lainnya. Ternyata beliau tidak punya.
Saya pun tiba-tiba tergerak untuk menawarkan bantuan. Saya yang membayar dengan QRIS, lalu Ibu Ayu memberikan saya uang cash. Beliau pun setuju.
Hujan Daras di Perjalanan

Saya berniat menolongnya sampai situ saja. Tidak ada niatan lain lagi. Toh nanti si ibu bisa jalan ke stasiun. Jaraknya cukup dekat dari Pasar Pon.
Saya dan anak saya sudah planning dari tadi pagi untuk berhenti di Indogrosir untuk belanja buah dan stok makanan anak-anak.
Saat bus melaju, Ibu Ayu terus bertanya beberapa hal. Ternyata beliau asli Purbalingga dan baru pertama kali naik bus Trans Banyumas ini.
“Mbak, sampai ke Pasar Pon kira-kira ada 10 menitan nggak ya?” Tanya beliau. “Hmm, kurang lebih 10 menitan, bu”. Saya menjawab dengan sedikit ragu karena seringkali tidak menghitung waktu perjalanan.
“Oh ya, nanti saya ke stasiun jalan kaki gitu ya, mbak? Terus apakah itu langsung ketemu anak di sana atau lokasinya harus ke mana ya?” Beliau bertanya dengan wajah sedikit bingung.
“Nanti ibu bisa jalan sedikit dari Pasar Pon ke stasiun pintu Barat. Lalu, menyebrangi rel kereta, masuk ke pintu keluar sebelah Timur.” Saya menjelaskan.
Beliau tampak masih berpikir keras. Saya lanjut menjelaskan, “Pintunya memang ada dua, Bu. Pintu Barat untuk penumpang yang memesan ojek online, sedangkan anak ibu kemungkinan ada di pintu timur karena tidak pesan ojek online.” Ibu Ayu pun mangut-mangut tanda mengerti.
Ketika bus melewati daerah Kebondalem, tiba-tiba hujan deras sekali. “Mbak, kata temen saya di stasiun sudah hujan deras dari tadi.” Saya pun mulai ikut risau.
Pertama, jika hujan deras, Ibu Ayu pasti bingung mau jalan kaki dari Pasar Pon ke Stasiun. Jaraknya 3 menitan untuk ditempuh dengan jalan kaki. Meskipun dekat, tapi pasti basah kuyup jika hujannya sederas ini.
Kedua, kalau saya turun di Indogrosir yang parkirannya terbuka dan sangat luas, saya dan anak bungsu juga pasti bakal basah kuyup. Khawatir anak akan sakit. Apakah sepanjang parkiran Indogrosir ada tempat teduh atau tidak, saya tidak ingat. Gimanapun, tidak bisa turun dari bus begitu saja tanpa tahu ada naungan atau tidak.
Akhirnya, saya memilih untuk membatalkan belanja di Indogrosir, meskipun anak saya kecewa. Saya berjanji akan belanja jika hujan reda nanti atau besok pagi. Anak saya pun akhirnya mengerti.
Jadilah saya berhenti di tempat yang sama, yaitu di Pasar Pon.
Menawarkan Boncengan Hingga Stasiun
Sesampainya di Pasar Pon, alhamdulillah hujan reda. Sebelum turun, saya pun terpikir untuk menawarkan boncengan motor hingga stasiun pintu timur.
Saya berkesimpulan bahwa anak Ibu Ayu turun di sana. Teman-temannya Ibu Ayu juga pasti menunggu di sana. Saya pun awalnya agak bingung dengan penjelasan Bu Ayu yang hanya sedikit. Siapa yang dijemput dan siapa saja yang menjemput. Hehehe. Intinya saya antarkan saja beliau ke lokasi yang tepat.
Oh ya jika pembaca masih bingung, kok saya pake motor buat bonceng Ibu Ayu, begini:
Saya bawa motor dari rumah ke halte Pasar Pon dengan anak bungsu untuk naik bus Trans Banyumas. Halte terdekat yang ada parkiran motornya di situ.
Saya naik bus ke Terminal Bulupitu untuk jalan-jalan alias piknik tipis-tipis. Nah, pulang juga naik bus Trans Banyumas lagi dari terminal ke Pasar Pon.
Dari Pasar Pon ke rumah saya, kebetulan melewati Stasiun. Baik Stasiun pintu barat atau pintu timur. Namun, dari Pasar Pon ke pintu timur lebih jauh. Harus melewati jalan underpass. Begitu.

Lanjut ya..
Saya pun menawarkan bantuan untuk membonceng Ibu Ayu ke stasiun pintu timur saja langsung.
Sebelum naik motor, saya ceritakan bahwa jalan ke rumah saya melewati stasiun barat dan timur juga. Jadi beliau pun tidak ragu ikut saya.
Singkat cerita, sampailah kami ke stasiun yang dituju. Ibu Ayu langsung bersorak lega. “Nah, bener ini Mbak. Itu angkot yang ditumpangi temen-teman saya.”
Saya langsung paham. Oh, jadi yang jemput itu banyak ya. Katanya memang rombongan. Hanya saja, saya ga sempat bertanya emang yang dijemput berapa orang ya? Hehe…
Ibu Ayu langsung mengucapkan terimakasih berkali-kali. Saya pun menyambutnya dengan senang hati. Kami pun berpisah di situ.
Tiba-tiba Ada Hal Penting Terbersit di Pikiran Saya
Setelah berpamitan, dan motor saya melaju ke arah rumah saya, justru saya memikirkan suatu hal. “Kenapa saya begitu mudah membantu ibu itu? Padahal saya biasanya berhati-hati jika itu menyangkut orang asing. Saya juga lebih sulit menolong orang dalam bentuk tenaga dan waktu ketimbang membantu secara materi.”
Terlepas itu orang asing atau bukan, seolah jalannya juga dimudahkan. Selain hati saya yang terasa lapang dan mudah menawarkan bantuan, alam juga seperti mendukung. Saya pulang di saat yang berbarengan dengan beliau, lalu hujan deras di perjalanan sehingga saya tidak bisa mampir ke Indogrosir, tapi malah hujannya berhenti saat tiba di Pasar Pon.
Itu cukup untuk membuat saya tertampar.
“Jangan-jangan bukan saya yang baik hati, tapi mungkin Ibu Ayu yang justru punya kebaikan sebelumnya sehingga Allah mudahkan pertolongan lewat saya.”
Sama Halnya dengan Keburukan Orang Lain, Bisa Jadi Karena Dosa Kita Sebelumnya
Saya sebenarnya tidak ada niat menulis ini. Sampai ada kejadian di mana saya justru mendapatkan ketidaknyamanan karena sikap orang lain hari ini.
Malah, mungkin bukan sikapnya yang salah. Bisa jadi, saya yang salah paham terhadapnya.
Mengingat kemungkinan salah paham atau akibat dosa saya, saya jadi hati-hati untuk merespon. Jangan sampai saya merespon buruk, padahal salah paham atau balasan dari dosa saya.
Sikap Orang Lain yang Membuat Suasana Hati Kusut

Sore ini saya mengirimkan pesan WhatsApp kepada teman saya. Sebutlah Mbak Jelita. Saya tanyakan apakah kado ultah dari saya sudah dia terima, karena di aplikasi sudah diterima yang berangkutan kemarin. Ceritanya, saya mengirimkan dia kado via marketplace karena kami tinggal beda kota.
Jika menyangkut pesanan online, kita pasti ingin konfirmasi ya. Apakah benar sudah diterima oleh orang yang dituju atau barangnya sesuai atau tidak.
Hal yang kurang enak, malah Mbak Jelita ini menjawab via chat, “Iyaaaa deehh, makasiiih”. Tanpa memberi tahu apakah barangnya diterima dan sesuai orderan.
Saya langsung kesal, dong. Saya bukan berharap terimakasih, loh. Meskipun itu juga penting, tapi saya menanyakan itu untuk konfirmasi.
Pikiran saya pun melayang ke mana-mana. Saya marah, kenapa sih punya teman yang begitu emosional. Apakah tidak bisa sedikit saja menggunakan logikanya.
Hati dan pikiran langsung nerawang ke mana-mana. Jadi ingat, dia itu tipikal yang sangat baperan. Termasuk orang tuanya dan kerabatnya. Mereka sering tidak bisa diajak komunikasi yang lugas gitu, karena serba pake perasaan.
Saya juga jadi ingat ketika mengirimkan sembako online ke orang tuanya beberapa bulan lalu. Itu tujuannya untuk berbagi saat momen lebaran. Kami dulu sangat dekat sehingga seperti keluarga. Kebetulan mereka tinggal beda daerah sejak Mbak Jelita menikah.
Saat saya menelepon, bertanya apakah boleh menanyakan isi paket yang sampai. Tujuannya untuk memastikan barang sesuai pesanan. Jika tidak sesuai, bisa untuk komplain ke seller.
Tahukah apa jawaban si ibunya? “Oh, kami belum ngucapin terimakasih ya ke kamu, sehingga ditelepon.”
Ya Allah, saya langsung kena mental digituin. Apakah karena orang tua kali ya, jadi tidak tahu sistem belanja online. Akhirnya, saya positif thinking dulu, alasannya pasti karena itu. Tapi, ya memang sering begitu.
Misalnya, mereka katanya pernah berkunjung ke rumah oarng tua teman kami yang lain. Mbak Rosa katakanlah. Ortu mbak Rosa nanya ke Mbak Rosa, “Itu mbak Jelita sama orang tuanya kira-kira pulang jam berapa ya nanti?” Kebetulan terdengar oleh ortu Mbak Jelita. Eh, langsung bilang ke Mbak Jelita, “Kita di sini malu-maluin ya? Sampai-sampai ditanya kapan pulang.”
Mbak Rosa denger langsung kena mental sekaligus salting, padahal niatnya nanya jam berapa pulang karena mau nyembelih ayam buat oleh-oleh. Jika masih lama, ayamnya mau sekalian dimasak. Jika sebentar lagi, mereka pilih oleh-oleh lain. Padahal itu tujuannya.
Sekarang, ketika Mbak Jelita yang membalas pesan saya seperti itu, saya jadi sedih. Kenapa niat kita memberi, justru dibalas dengan sikap yang kurang menyenangkan. Berhadapan dengan orang yang mendahulukan emosional begitu melelahkan secara psikis.
Ya, memang hubungan dengan mereka lebih sering menyenangkan. Mereka sangat kekeluargaan, empati, dan pokoknya banyak kebaikannya. Namun, kekurangannya sering pake perasaan duluan ketimbang logika. Jadi, sering salah paham gitu.
Mengingat Dosa yang Mungkin Menjadi Penyebabnya

Memang tidak diperkenankan kita menceritakan dosa kita kepada orang lain. Cukup ingat-ingat dan taubat saja.
Saya pun mengingat-ingat setiap kali kejadian konflik dengan orang lain, apakah sebelumnya, mungkin tadi malam atau kemarin saya melakukan dosa apa.
Entah itu komentar di media sosial yang menyinggung orang lain, dosa hati, dosa mata, dosa pikiran, sikap yang merugikan orang lain, dan sebagainya.
Saya pun mendapati bahwa di hari sebelumnya ada dosa Z, besoknya atau siangnya ada konflik sejenis, yaitu berhadapan dengan orang serupa. Mirip sekali konfliknya, yaitu sikap yang emosional dan sulit dijelaskan seperti dengan Mbak Jelita ini.
Mau klarifikasi, jadi canggung. Gak klarifikasi, dia menganggap saya menantikan ucapan terimakasih.
Memutuskan untuk Tidak Buru-Buru Bereaksi Saat Dibuat Kesal oleh Orang Lain
Dari renungan di atas, akhirnya saya menemukan kesimpulan.
Saat kita berbuat baik ke orang lain seperti kepada Bu Ayu, bisa jadi bukan karena kita baik, tapi bisa jadi karena beliau melakukan kebaikan sebelumnya.
Ketika kita menghadapi orang yang membuat marah, bisa jadi bukan karena orang lain yang buruk, tapi karena dosa yang kita lakukan sebelumnya.
Renungan ini membuat saya tenang sore ini. Saya tidak ingin langsung meluapkan kekesalan karena sikap Mbak Jelita. Entah dengan curhat ke orang lain atau langsung mengungkapkannya kepada yang bersangkutan.
Selain itu, ada kemungkinan yang bisa saja tidak saya tahu. Mungkin saja Mbak Jelita sedang ada masalah, sehingga dia tidak bisa mengontrol emosinya sendiri.
Lagipula, kita juga kadang marah karena suatu hal, tapi melampiaskannya kepada orang lain yang tidak ada sangkut pautnya. Ya, nggak sih? Hehe.
Penutup
Nah, itulah setetes renungan tentang kebaikan dan keburukan. Kebaikan yang kita lakukan bisa jadi karena orang lain yang baik sehingga kita tidak mudah berbangga diri.
Keburukan orang lain bisa jadi karena dosa kita sebelumnya, sehingga kita tidak mudah bereaksi saat marah oleh sikap orang lain. Akan lebih malu lagi, jika kita sudah marah-marah ternyata hanya salah paham. Hehe.
Tulisan ini saya umpamakan tetesan air karena berupa hikmah kecil yang datang dari orang yang banyak salah dan dosa. Kebaikan yang bisa diambil mungkin sedikit saja.
Ini juga merupakan renungan saat hujan turun rintik-rintik di jalan stasiun, sehingga saya istilahkan dengan tetesan air.
Semoga bermanfaat dan selamat menyambut bulan suci Ramadhan.