Cinta yang Tidak Dipilih: Renungan Emosional dari Devdas dan Chandramukhi
Saya sudah menonton film Devdas berkali-kali—entah berapa jumlah pastinya. Tapi baru hari ini saya benar-benar duduk diam sambil merapikan baju yang habis dijemur, menonton dari awal sampai akhir, mencermati tiap adegan, tiap dialog, tiap gestur para karakternya.
Dan jujur, di akhir film, saya merasa ada sesuatu yang janggal. Bukan karena kualitas sinematiknya—yang jelas luar biasa—tetapi karena dialog antara Devdas dan Chandramukhi menjelang perpisahan mereka.
Di saat Devdas mengatakan bahwa ia mencintai Chandramukhi, saya justru merasa terganggu. Ada rasa tidak puas. Mengapa? Karena awalnya saya berekspektasi, ketika endingnya seorang pria memilih mati di depan rumah mantan kekasihnya (Paro), artinya dia hanya mencintai mantannya itu. Devdas benar-benar mencintai Paro sampai segila itu. Tidak ada orang lain lagi di hatinya.
Lalu, hal terpenting lainnya adalah soal adanya keganjilan. Bagaimana bisa seseorang berkata cinta kepada yang baru, lalu memilih untuk pergi? Kenapa cinta yang hadir dengan setia tidak dipilih? Dari situ, pertanyaan demi pertanyaan muncul di benak saya. Bukannya jika mencintai orang yang baru, luka lama seharusnya sudah sembuh? Tidak ada lagi harapan kepada yang lama?
Saya merasa perlu memahami lebih jauh, bukan hanya sebagai penonton, tetapi sebagai manusia yang juga pernah mendengar dan sedikit mengalami kompleksitas cinta, keraguan, dan luka yang tidak sempat sembuh.
Tentang Film Devdas
Devdas adalah film drama romantis produksi India yang dirilis tahun 2002, disutradarai oleh Sanjay Leela Bhansali, dan diadaptasi dari novel Bengali karya Sarat Chandra Chattopadhyay.
Cerita ini sejatinya telah diadaptasi ke layar lebar beberapa kali, namun versi Bhansali ini menjadi salah satu yang paling ikonik karena kemewahan visual, kekuatan emosional, dan permainan akting yang luar biasa.
Film ini dibintangi oleh:
- Shah Rukh Khan sebagai Devdas Mukherjee, tokoh utama yang tragis,
- Aishwarya Rai sebagai Parvati alias Paro, cinta masa kecilnya,
- Madhuri Dixit sebagai Chandramukhi, seorang penari penghibur yang mencintai Devdas dengan setulus hati.
Ceritanya mengisahkan tentang Devdas, pria dari keluarga kaya yang jatuh cinta pada sahabat kecilnya, Paro. Namun karena tekanan keluarga dan kelas sosial, mereka gagal bersama.
Devdas, kehilangan arah, menolak untuk melanjutkan hidup secara utuh dan tenggelam dalam alkohol serta penyesalan. Dalam keterpurukan itu, muncullah Chandramukhi—wanita yang melihat luka batin Devdas dan mencintainya tanpa syarat.
Devdas dan Psikologi Keterjebakan dalam Masa Lalu
Semakin saya pikirkan, Devdas adalah potret manusia yang tidak bisa berdamai dengan kehilangan. Dalam psikologi, ia bisa digambarkan sebagai seseorang yang mengalami trauma emosional yang tidak terselesaikan.
Cinta pertamanya kandas, tapi bukan hanya itu—Devdas menolak menyembuhkan diri. Ia memilih untuk tinggal dalam luka, dalam kenangan yang membuatnya merasa hidup, meski perlahan menghancurkannya.
Chandramukhi hadir bukan untuk menyelamatkan, tapi untuk menemani. Ia tidak menuntut balasan, tidak meminta pengakuan. Namun justru karena ia terlalu tulus, Devdas merasa tidak pantas.
Inilah konflik emosional yang membuat saya berpikir lama setelah film selesai: mengapa manusia sering lari dari cinta yang memberi ruang dan penerimaan?
Chandramukhi: Cinta yang Tidak Dipilih
Sosok Chandramukhi membuat saya merenung. Dalam kehidupan nyata, banyak dari kita mungkin pernah menjadi Chandramukhi: mencintai seseorang yang belum sembuh, yang belum selesai dengan masa lalunya, yang belum siap untuk menerima cinta baru. Dia adalah simbol dari kasih yang tidak egois, dari ketulusan yang kadang tidak dihargai karena datang di waktu yang salah.
Ketika Devdas mengatakan ia mencintai Chandramukhi, tapi tetap memilih untuk mati di depan rumah Paro, saya merasa… kecewa. Tapi lama-lama saya menyadari, Devdas mencintai Chandramukhi dengan cara yang tidak mampu ia wujudkan. Cintanya bukan palsu, tapi tidak dewasa. Ia tahu Chandramukhi tulus, dan justru karena itu, ia merasa tidak layak.
Sinematografi sebagai Bahasa Luka
Saya tak bisa tidak menyebut betapa indahnya cara Sanjay Leela Bhansali membingkai emosi lewat sinematografi. Cahaya, warna, dan gerakan kamera di film ini bukan hanya teknis—mereka menjadi bahasa luka.
Dalam adegan antara Devdas dan Chandramukhi, warna emas kehangatan menyelimuti Chandramukhi, sementara Devdas tetap dalam bayang-bayang biru dan abu, seakan terperangkap dalam dunia yang sudah mati.
Adegan itu bukan hanya visual, tapi simbolik. Devdas sedang berpamitan—bukan karena ia tidak merasakan cinta, tapi karena ia tidak punya keberanian untuk hidup.
Penutup: Cinta, Luka, dan Pilihan yang Tidak Diambil
Setelah merenungi film ini dari sudut pandang psikologi dan emosi manusia, saya mulai memahami bahwa Devdas bukan film tentang akhir yang bahagia. Ini adalah film tentang ketidakmampuan manusia untuk memilih kesempatan kedua ketika terlalu larut dalam masa lalu.
Sebagai penonton, saya masih merasa perih pada Chandramukhi. Tapi saya juga mulai memahami bahwa tidak semua cinta harus dipilih untuk tetap berarti. Kadang, cinta yang tidak dipilih justru yang paling tulus, yang paling kuat, yang paling nyata.
Dan mungkin, itu juga pelajaran untuk kita semua—untuk melihat siapa yang hadir saat kita runtuh, dan untuk berani memilih hidup, meski penuh luka.