Bukan Tentang Siapa yang Kaya, Tapi Siapa yang Punya Nurani — Pelajaran dari Titanic
Ada momen ketika kita menonton ulang sebuah film lama dan tiba-tiba sadar: pandangan kita dulu berbeda sekali dengan sekarang. Dulu, mungkin kita menonton Titanic sebagai kisah cinta paling romantis sepanjang masa. Tapi kini, setelah bertambah usia dan pengalaman, banyak orang justru memandangnya dari sudut yang lain. Di media sosial, tak sedikit yang berkata: “Ternyata Cal itu green flag, Jack justru red flag.”
Benarkah demikian? Atau jangan-jangan, kita sedang memutarbalikkan nilai-nilai yang dulu kita yakini — hanya karena kini kita lebih menghargai kenyamanan materi daripada kemurnian hati?
Cal: Kemapanan yang Penuh Kekerasan

Di permukaan, Cal terlihat seperti calon suami idaman: tampan, berpakaian rapi, kaya raya, dan terhormat di mata masyarakat kelas atas. Ia punya segalanya — kecuali empati.
Kalau diperhatikan lebih teliti, Cal bukanlah lambang stabilitas, tapi simbol kekuasaan yang menindas. Ia menampar Rose, membalik meja sarapan, dan memperlakukan kekasihnya seolah milik pribadi yang harus tunduk pada kendalinya.
Yang lebih ironis, Cal berusaha menaklukkan Rose bukan dengan cinta, melainkan dengan kekayaan. Ia tahu ibu Rose kesulitan finansial, dan di situlah ia memainkan peran “penyelamat” yang sejatinya manipulatif. Ia bukan menolong, tapi membeli.
Flexing kekayaannya di hadapan keluarga Rose hanyalah cara lain untuk menunjukkan dominasi — bahwa uang bisa membeli segalanya, termasuk perasaan.
Namun di balik jas mahal dan senyum sopan itu, tersembunyi ego besar yang tak memberi ruang bagi Rose untuk menjadi dirinya sendiri. Cal bukan hanya gagal mencintai, tapi juga gagal menghargai kebebasan seorang perempuan cerdas yang ingin berpikir dan hidup dengan caranya sendiri.
Jack: Laki-Laki Sederhana dengan Jiwa Besar

Sebaliknya, Jack mungkin miskin secara materi, tapi kaya dalam kemanusiaan. Ia tahu dirinya bukan siapa-siapa, tapi ia tidak pernah berbohong tentang itu. Bahkan ketika Rose dengan hati-hati berbicara soal “perbedaan kelas,” Jack menanggapinya dengan lugas: “Kau maksud orang miskin, kan? Ya, aku tahu aku miskin.”
Tidak ada rasa malu di sana. Hanya kejujuran yang tulus, sesuatu yang sering hilang di dunia penuh pencitraan.
Jack mencintai Rose bukan karena ingin menaikkan statusnya, tapi karena ia benar-benar peduli. Ia menolong Rose ketika gadis itu hampir bunuh diri, memeluknya saat panik, dan mengajaknya merasakan kehidupan yang bebas, di luar kandang emas yang mengekang.
Bersama Jack, Rose tertawa. Bersamanya, ia merasa hidup.
Dalam situasi genting pun, Jack tetap menunjukkan siapa dirinya sebenarnya. Ia menolong anak kecil di tengah kepanikan, mengorbankan tempatnya di atas papan terapung, dan mati demi memastikan Rose bisa bertahan hidup.
Cintanya tidak menuntut balasan, tidak pula dibungkus ambisi. Ia mencintai dengan cara yang paling sulit — memberi tanpa berharap kembali.
Cermin untuk Perempuan Modern
Yang menarik, fenomena di media sosial belakangan ini justru menunjukkan hal yang berlawanan. Banyak perempuan modern — yang sebetulnya sudah mandiri secara finansial, berpendidikan, dan kuat — kini malah memuja sosok seperti Cal: laki-laki mapan yang bisa memberi rasa aman secara materi.
Padahal, jika dipikir lebih dalam, rasa aman itu semu. Harta bisa lenyap, jabatan bisa jatuh, tapi karakter? Itu yang menentukan arah hidup bersama.
Perempuan masa kini tidak lagi butuh “penyelamat” dengan dompet tebal, melainkan pasangan yang bisa tumbuh bersama. Dan di sinilah pelajaran dari Jack terasa relevan: ketulusan, empati, dan kebebasan adalah fondasi hubungan yang sehat.
Jack mungkin tak punya uang, tapi ia punya keberanian untuk jujur, punya hati untuk berempati, dan punya jiwa besar untuk berkorban. Bukankah itu justru kualitas maskulin sejati yang sulit ditemukan di era serba pamer ini?
Antara Cinta dan Kenyamanan
Cinta yang sejati seringkali tidak datang dalam bentuk yang mudah. Ia tidak selalu nyaman, tidak selalu disertai fasilitas, dan tidak selalu logis. Tapi cinta yang tulus selalu menghadirkan pertumbuhan. Rose menemukan dirinya kembali melalui Jack — bukan karena Jack memberinya uang, tapi karena ia memberinya keberanian untuk hidup.
Ketika Jack berkata, “Kau harus berjanji padaku untuk bertahan, Rose. Kau akan hidup, menikah, punya anak, dan mati di ranjangmu, bukan di sini, malam ini,” itu bukan hanya pesan perpisahan, tapi bukti kedewasaan seseorang yang mencintai tanpa ego.
Ia rela kehilangan segalanya demi memastikan orang yang dicintainya bahagia.
Cinta seperti ini mungkin langka, tapi justru karena itulah ia abadi. Titanic bukan kisah tentang miskin dan kaya, tapi tentang siapa yang benar-benar punya hati.
Penutup: Kita Perlu Menonton Ulang dengan Hati
Menonton ulang Titanic di usia dewasa seharusnya membuat kita lebih bijak, bukan lebih sinis. Mungkin benar, kehidupan modern menuntut stabilitas, tapi stabilitas tanpa kemanusiaan hanyalah kandang emas yang dingin.
Kita tidak sedang kekurangan laki-laki kaya, tapi kekurangan laki-laki yang berani mencintai dengan tulus, tanpa merasa lebih tinggi. Kita tidak sedang kekurangan perempuan mandiri, tapi mungkin terlalu sering lupa bahwa cinta sejati tak pernah bisa diukur dengan harta.
Pada akhirnya, film Titanic bukan sekadar tragedi tentang kapal tenggelam, tapi kisah tentang nilai-nilai yang kini mulai tenggelam di tengah budaya yang menilai segalanya dari materi.
Dan seperti Jack, mungkin tugas kita adalah menjaga agar nurani itu tetap hidup — walau dunia semakin dingin.