Benarkah Istri Bekerja Bisa Mengurangi Berkah Rumah Tangga?
Saya pernah mendengar sebuah pernyataan dari seorang tokoh agama yang cukup membuat saya berpikir lama. Intinya, beliau mengatakan bahwa jika seorang istri bekerja dengan niat mencari nafkah, maka rumah tangga bisa menjadi kurang berkah.
Awalnya saya mencoba memahami maksudnya. Saya percaya beliau adalah orang yang bijak, punya ilmu agama yang luas, dan berbicara dari niat baik. Tapi di sisi lain, hati saya merasa ada yang ganjal.
Apakah benar sesederhana itu? Apakah semua rumah tangga akan kehilangan keberkahan hanya karena istrinya ikut bekerja?
Bagi saya, ucapan itu terdengar seperti sebuah opini, bukan hukum mutlak yang berlaku untuk semua orang. Kondisi setiap rumah tangga itu berbeda. Ada yang memang cukup dengan nafkah suami saja. Tapi ada juga yang, tanpa kontribusi istri, mungkin sulit bertahan.
Yang membuat saya lebih terusik, saya menemukan banyak pengguna Instagram yang sampai meragukan dirinya sendiri setelah mendengar pernyataan seperti ini. Ada yang bertanya-tanya, “Selama ini saya membantu suami mencari nafkah, berarti rumah tangga saya nggak berkah, dong?” atau “Karir saya jadi nggak berarti, ya, karena ternyata nggak berkah?”
Menurut saya, ini cukup meresahkan. Apalagi bagi mereka yang memang tidak punya pilihan lain selain ikut membantu suami dari segi ekonomi. Pernyataan seperti itu, meskipun mungkin tujuannya baik, bisa membuat sebagian orang merasa bersalah hanya karena kondisi hidup mereka berbeda.
Pandangan yang Beredar: Dari Mana Ini Muncul?
Tokoh agama biasanya berbicara berdasarkan pemahaman agama yang mereka pelajari, ditambah pengalaman pribadi atau cerita yang mereka temui.
Bagi mereka, gambaran rumah tangga ideal adalah ketika suami fokus mencari nafkah, dan istri fokus mengurus rumah serta anak-anak.
Namun, bahkan ulama seperti Ustadz Khalid Basalamah pernah menyampaikan bahwa ada tipe laki-laki yang memang kurang kemampuannya dalam mencari nafkah, bahkan “bangkrutan” istilahnya.
Ada juga yang karena sakit atau keterbatasan fisik, tidak bisa bekerja maksimal. Dalam situasi seperti ini, peran istri untuk membantu mencari penghasilan menjadi sangat penting. Ini membuktikan bahwa kenyataan hidup tidak selalu sesuai dengan konsep “ideal” yang dibayangkan.
Tidak Bisa Berlaku Universal
Pernyataan bahwa “istri bekerja bisa mengurangi berkah” memang terdengar tegas, tapi faktanya kehidupan rumah tangga tidak sesederhana itu. Kondisi setiap pasangan berbeda-beda, dan ada banyak faktor yang membuat seorang istri memilih atau bahkan terpaksa ikut bekerja.
Bukan hanya soal ambisi atau ingin berkarya, sering kali keputusan itu lahir dari kebutuhan nyata yang muncul di tengah perjalanan rumah tangga. Berikut beberapa situasi yang membuktikan bahwa pandangan ini memang tidak bisa diberlakukan untuk semua orang.
“Setiap rumah tangga punya cerita berbeda. Apa yang tepat untuk satu keluarga, belum tentu berlaku untuk yang lain.”
1. Suami Tidak Mampu Mencari Nafkah
Ada suami yang karena sakit, keterbatasan fisik, atau bahkan bangkrut, tidak bisa lagi menjadi pencari nafkah utama. Dalam kondisi ini, peran istri untuk bekerja justru menjadi penyelamat agar rumah tangga tetap berjalan.
2. Kekerasan Finansial dari Suami
Fenomena suami yang pelit atau sengaja membatasi nafkah kepada istri juga sering terjadi. Istri yang bekerja bisa memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarga tanpa harus terus bergantung pada suami.
Rumah tangga tidak ada yang sempurna. Termasuk istri yang diuji dengan kekerasan finansial (yang kini menjadi topik hangat). Solusinya bukan langsung meninggalkan suami. Kadang, memperbaiki sifatnya juga bukan hal yang bisa dilakukan dalam semalam.
Di kondisi ini, kebutuhan istri perlu ia penuhi sendiri. Mungkin sambil memperbaiki sikap suaminya. Ini lebih bijaksana, ketimbang harus konflik menghabiskan tenaga dan waktu, dan fokus kepada hal-hal urgen sepeti kebutuhan sehari-hari dan anak-anak.
3. Tekanan dari Keluarga Suami yang Toxic
Ada keluarga suami yang tidak senang jika anak laki-lakinya memberi nafkah “terlalu banyak” kepada istrinya. Ini persepsi keluarga yang beragam juga, karena bahkan ada yang melihat keluarga kecil anak laki-lakinya makan di cafe sebulan sekali langsung ditanyai seperti terdakwa. Suami mentraktir istri makan soto, langsung disindir melebihi pedasnya Pepper X.
Dengan situasi seperti ini, menurut saya, justru dengan penghasilan sendiri, istri bisa mengurangi ketergantungan finansial dan meminimalisir konflik rumah tangga.
Sudah sangat banyak saya mendengar cerita, baik langsung atau dari media sosial, istri yang mendapatkan sikap kurang menyenangkan dari pihak keluarga suami lantaran menganggap kehadiran istri sebagai “beban” anak laki-laki mereka.
Ya, memang tidak bisa dimungkiri bahwa sikap itu lahir dari pemahaman agama yang minim. Namun, mengubah pola pikir orang lain di luar jangkauan kita, bukan?
Alangkah lebih baik jika kaum istri memang punya penghasilan sendiri, untuk menjadi pertahanan harga dirinya. Ini lebih aman, menurut saya, daripada memaksakan diri menerima nafkah suami, tapi dimusuhi keluarganya.
4. Menjadi Sandwich Generation
Ketika salah satu atau bahkan keduanya harus menanggung kebutuhan keluarga inti sekaligus orang tua atau adik-adik, konflik bisa muncul. Istri yang bekerja dapat membantu keluarganya sendiri tanpa menimbulkan ketimpangan dalam rumah tangga.
Bayangkan, jika hanya suami yang bekerja dan dia lebih memprioritaskan keluarga asalnya (orang tua dan adik-adiknya), sementara keluarga pihak istri diabaikan karena alasan “istri kan tidak bekerja”, ini bisa melukai hati istri. Apalagi kalau orang tua istri sedang kesulitan atau adik putus sekolah.
5. Mengurangi Rasa Iri karena Sumber Nafkah dari Suami
Istri yang tidak bekerja kadang merasa keberatan saat suami membantu keluarganya. Dengan penghasilan sendiri, istri bisa lebih memahami dan menerima ketika suami memberi bantuan pada orang tuanya atau saudaranya.
Saya sangat sering mendengar, (maaf) mereka yang status ibu rumah tangga tanpa kegiatan lain seperti bisnis atau bekerja, cenderung tidak terima jika suami memberikan uang jajan untuk adiknya yang sekolah, atau rutin memberi kepada ibunya.
Ini dari orang terdekat yang saya temui saja ya, teman-teman. Tentunya sifat orang tidak sama satu dengan lainnya. Mungkin tidak semua istri yang tidak bekerja cenderung mudah iri kepada suami yang memberikan uang kepada ibu atau kerabatnya. Pasti ada IRT tulen yang secara sukarela justru rutin mengingatkan suaminya untuk memberi kepada keluarga asalnya.
Bekerja Bukan Selalu Tentang Uang
Tidak semua istri bekerja demi uang.
Ada yang ingin berkarya karena sayang dengan ilmu dan pendidikan yang sudah ditempuh. Ada yang merasa bekerja membuat mereka lebih bahagia, dan kebahagiaan itu menular ke keluarga.
Sebagian orang tua bahkan mengorbankan banyak hal untuk pendidikan anak perempuannya. Ada yang sampai menjual tanah, bahkan rumah, demi biaya kuliah. Wajar jika si anak—yang kini sudah menjadi istri—ingin memanfaatkan ilmunya di dunia kerja.
Nah, masalahnya adalah, untuk keluarga kelas menengah ke bawah, keinginan istri bekerja hanya demi berkarya bisa memicu keberatan dari suami. Alasannya sederhana: kondisi ekonomi mereka mungkin belum cukup kuat, sehingga pekerjaan rumah tangga tetap harus dibagi.
Jika istri bekerja di luar untuk alasan personal, otomatis suami juga harus mengambil sebagian tugas rumah tangga—yang sebelumnya tidak ia lakukan karena fokus mencari nafkah. Di mata sebagian suami, ini terasa seperti beban ganda: pendapatan keluarga tidak bertambah signifikan, tapi tenaga dan waktunya berkurang.
“Kadang, keputusan istri untuk bekerja bukan soal ambisi, tapi soal menjaga rumah tangga tetap berdiri.”
Risiko yang Harus Diakui
Memang ada risiko yang harus diakui.
Ketika istri bekerja dan penghasilannya cukup besar, sebagian suami malah menjadi malas. Tanggung jawab mencari nafkah yang semestinya dipegang suami jadi terasa “aman” karena ada pendapatan tambahan dari istri.
Hal ini bukan berarti istri bekerja selalu menimbulkan masalah, tapi pembagian peran harus tetap seimbang. Rumah tangga yang sehat memerlukan kerjasama, bukan saling mengandalkan secara berlebihan.
Kunci Utama: Kesepakatan Pasangan
Pada akhirnya, pertanyaan “boleh atau tidak istri bekerja” sebaiknya dijawab oleh pasangan itu sendiri.
Setiap rumah tangga punya cerita, tantangan, dan nilai yang berbeda.
Kesepakatan yang sehat biasanya dibangun dari diskusi yang jujur:
Tujuan bekerja: Apakah untuk membantu ekonomi, menyalurkan hobi, atau mengembangkan karir?
Pembagian tugas rumah tangga: Siapa yang mengurus anak, pekerjaan rumah, dan kebutuhan sehari-hari?
Dampak jangka panjang: Bagaimana pekerjaan istri akan memengaruhi waktu bersama keluarga?
“Berkah itu bukan hanya datang dari siapa yang bekerja, tapi dari bagaimana hati dan niat kita menjalani peran di keluarga.”
Makna Berkah yang Lebih Luas
Berkah bukan hanya soal siapa yang bekerja atau tidak.
Berkah adalah ketenangan hati, hubungan harmonis, anak-anak yang tumbuh baik, dan rezeki yang cukup untuk kebutuhan hidup.
Jika istri bekerja tapi keluarga tetap harmonis, anak-anak terurus, dan hubungan suami istri saling menghargai, bukankah itu juga berkah?
Sebaliknya, jika istri tidak bekerja tapi rumah tangga penuh konflik, apakah itu otomatis lebih berkah?
Penutup: Untuk Para Istri yang Mungkin Sedang Merasa Ragu
Jika kamu adalah seorang istri yang bekerja, entah untuk membantu suami, menutupi kekurangan nafkah, atau menjaga kestabilan rumah tangga dari konflik, ketahuilah: itu bukan berarti rumah tanggamu kehilangan keberkahan.
Berkah itu bukan hanya datang dari “siapa yang bekerja”, tetapi dari bagaimana hati dan niat kita menjalani peran dalam keluarga.
Selama kamu dan suamimu saling ridha, saling menghargai, dan menjaga hubungan dengan Allah, keberkahan itu insyaAllah tetap ada.
Jangan biarkan satu pandangan membuatmu meragukan dirimu sendiri.
Setiap rumah tangga punya jalan yang berbeda, dan tidak ada satu pola yang bisa dipakai untuk semua orang. Yang terpenting adalah saling menguatkan, bukan saling menyalahkan.
kalau satu sama lain saling rido, memahami paosisi masing-masing dan komunikasi dengan baik, insyaallah istri bekerja gak akan jadi masalah serius
kalaupun ada masalah yaitu tadi komunikasikan dengan baik sampai tuntas sehingga tidak saling memendam permasalahan
semoga bahagia untuk semua ibu rumah tangga ya sehingga tidak “berontak” dalam kesehariannya
Betul sekali teh. Meski bilang “kerja buat bantu nafkah”, kalau itu yg bikin suami dan istri nyaman dan sama-sama lebih kompak, apa salahnya ya kan.
Kak, ini topik yang menarik dan penting banget! Sebenarnya yang sering bermasalah bukan istri kerjanya, tapi work–family conflict alias ketegangan antara tanggung jawab kerja dan rumah tangga, yang bisa bikin stres kalau nggak diimbangi pengaturan waktu dan peran. Studi di Bandung menunjukkan perempuan menikah yang kerja sebagai perawat sering mengalami konflik ini apalagi jika tak ada support sistem dari keluarga atau suami.
Memang di sinilah konfliknya Kak, yaitu pengaturan waktu. Kalau ada pemahaman yang mendasar tentang hak istri untuk berkarya, meskipun dengan kesepatakan “penghasilan buat keluarga juga”, maka tidak akan ada yang namanya konflik besar.
Contohnya saja, dosen laki-laki yang paham karir adalah hak istri, beliau sampai mengizinkan istrinya pergi ke Australia loh, padahal masih ada bayi usia 2 bulan. Beliau paham, menyusui dan mengurus anak bukan kewajiban istri. Sampai segitunya kalau paham basic.