Ayahku Tidaklah Sempurna, Tapi Dia Pahlawan Sesungguhnya

Semakin dewasa, kita mulai bisa mengenali kekurangan dan kelebihan orang lain. Termasuk sosok ayah. Ucapan, perbuatan, dan sikapnya tidak lagi kita terima dengan kepolosan.

Jika dulu ayah mengatakan sayang pada anaknya, kita sebagai anak pasti langsung tersipu dan senang. Saat ayah marah, seolah dunia sedang memberikan sambaran petir hari itu. Jika ayah berpetuah banyak hal, kita dengarkan semuanya sebagai suatu kebenaran.

Namun, saat tumbuh dewasa, semakin bertambah wawasan, ilmu juga semakin banyak, semakin luas pergaulan, kita semakin mampu menilai segala hal pada diri seorang ayah. Seseorang yang dulunya begitu agung, lama-kelamaan bisa jadi semakin kecil karena diri kita semakin besar dalam banyak hal.

Hubungan dan perasaan seorang anak ketika dewasa bisa jadi tidak lagi sederhana seperti masa kecil dulu. Walaupun rasa sayang dan hormat itu selalu ada Namun, semuanya terasa lebih rumit. Oh ya, tulisan ini khusus untuk orang-orang dewasa yang telah sukses dan makin merasakan bahwa orang tua semakin kecil perannya.

Ayahku dengan Sekian Banyak Kekurangan

ayah adalah pahlawan sesungguhnya
Ilustrasi ayah seorang petani, gambar dari Pixabay.com

Sebenarnya, aku yakin di luar sana masih banyak orang dewasa yang peran ayahnya atau ibunya masih sangat terasa. Bisa karena berbagai sebab. Misalnya tempat tinggal yang berdekatan dengan orang tua, sosok ayah memiliki pengaruh yang kuat, atau memang komunikasi yang selalu berjalan lancar.

Itu juga yang aku lihat dari salah satu temanku yang ayahnya hampir selalu hadir dalam kegiatan keluarga kecilnya. Padahal, jarak antara rumahnya sekarang dengan orang tuanya terpisah tiga kota besar.  

Kadang aku iri dengan temanku yang masih bisa merasakan kehadiran orang tua dalam momen-momen penting dalam hidupnya. Bahkan ayah ibunya ikut membantu banyak hal. Namun, aku tidak boleh terlalu menilai sesuatu dari apa yang tampak dari luar saja. Aku harus menyadari banyak hal tentang ayahku.

Perkembangan pola pikir di usia dewasa haruslah bisa memandang orang tua sebagai manusia biasa. Seringkali bukan lagi melihat mereka sebagai ayah atau ibu yang kita harapkan uang jajan, pelukan hangat, apalagi membantu menopang hidup. Ya, hanya melihat dan menilai mereka sebagai sesama manusia yang seringkali juga tidak lepas dari salah dan khiaf.

Saat ini aku adalah seorang pekerja lepas lulusan S2 sekaligus ibu rumah tangga. Aku sudah banyak mengenal orang dari berbagai lapisan masyarakat, membaca banyak buku-buku pengembangan diri, belajar organisansi beberapa kali, sudah mempelajari banyak tata cara komunikasi, dan paham dunia karir dengan sejumlah aturan rimbanya.

Sedangkan ayahku, dia adalah seorang petani tamatan sekolah dasar (SD), lelaki kampung yang belajar dari hal-hal di sekitarnya, bergaul dengan bekal dan kemampuan seadanya, dan bukan orang yang sudah menamatkan berbagai buku pengembangan diri sepertiku.

Ayah yang tidak kenal ilmu-ilmu bisnis atau apapun yang sering kita lihat dalam toko buku, film, bangku kuliah, atau apapun. Kecuali segala yang ditemukannya saja dari tetangga di kampung, pengajian di desa, atau acara televisi.

Ayahku juga mungkin tidak memiliki kreativitas bisnis saat tubuhnya melemah dan tidak dapat bekerja memanjat pohon-pohon kelapa dan membajak sawah lagi. Jika aku menganggap seseorang bisa mencari nafkah dengan jalan apa saja tanpa harus mengandalkan tenaga, itu tidak bisa aku terapkan kepada ayahku.

Tidak seharusnya aku meminta ayah bisa sehebat orang lain atau orang tua lainnya yang aku kenal. Aku tidak bisa menyamakan pola pikir seorang magister atau sarjana dengan ayahku, seorang petani desa di usia yang sudah tua dan kesehatan yang tidak lagi sebaik dahulu.

Bagaikan Lilin yang Habis untuk Memberikan Cahaya

Sebuah acara televisi menayangkan beberapa pemulung sampah di Jawa Barat, menyadarkanku tentang ayah. Mengingatkanku tentang perjuangannya dulu. Para pemulung itu adalah orang-orang pinggiran yang memang tidak memiliki mata pencaharian lain selain memunguti sampah dan menjualnya.

Sama dengan ayah, hanya beda profesi saja. Kesamaannya ada pada ketidakmampuan untuk kreatif karena keterbatasan pola pikir. Jika Teman-teman berpikir bahwa mindset itu bisa diubah, maka tidak bagi orang-orang dengan tingkat pendidikan rendah, minim wawasn, atau sudah lama berada dalam lingkungan pinggiran. Mengubah pola pikir mereka butuh waktu sangat lama atau memerlukan misi khusus dengan mengerahkan tenaga yang masif.

Namun, meskipun pola pikir mereka kurang berkembang dan tidak memiliki jalan lain dalam mencari nafkah, mereka tetap semangat bekerja walau tumpukan berton-ton sampah sangat membahayakan kesehatan.

Tahukah apa motivasi yang membuat mereka terus berjuang di tengah risiko yang besar? Jawabannya adalah anak. Para pemulung yang berisiko terpapar penyakit itu memiliki segenap harapan bahwa anak-anaknya kelak bisa hidup lebih layak. Bisa sekolah tinggi hingga menjadi seseorang yang hidup sejahtera.

Ayah juga demikian. Bekerja mengandalkan pundak dan otot sepanjang hari dengan tujuan memberikan penghidupan yang layak untuk keluarganya. Di masa primanya dulu, ayah bahkan bisa memaksakan tubuh untuk tidak pernah absen memanjat kelapa dan mengambil nira pagi dan malam demi sebuah harapan.

Anak harus sekolah hingga sarjana dan tidak melakukan pekerjaan kasar seperti orang tuanya. Anak-anaknya kelak menjadi orang yang sholih dan sholihah dengan terus belajar sungguh-sungguh walaupun biayanya mahal.

Mungkin bagi orang tua lainnya, membiayai iuran sekolah SMA sebesar 500 ribu tiap bulan pada tahun 2006 itu tidak seberapa. Namun bagi petani gula seperti ayah, itu adalah nominal yang cukup memberatkan.

Tidak ayal lagi, menyekolahkan anak-anak sama saja dengan mengusir keinginan menimbun harta kekayaan untuk masa tua. Pengorbanan semacam itu tidak akan bisa dimengerti oleh siapapun. Terutama oleh mereka yang serba ada.

Bukan hanya itu, kondisi di desa yang belum begitu banyak orang belajar hingga sarjana membuat perjuangan ayahku tidak begitu mendapatkan apresiasi positif dari lingkungan.

Tidak jarang orang berkomentar, “Untuk apa menyekolahkan anak perempuan. Toh nanti juga kerjanya akan di dapur.”

Ada juga yang berseloroh, “Ngapain capek-capek mengeluarkan uang untuk biaya anak sekolah, toh banyak sarjana yang jadi pengangguran.”

Ya, mindset tersebut seringkali menyudutkan ayah yang tengah menaruh harapan untuk kesuksesan anaknya. Terutama padaku yang merupakan anak pertama. Namun, ayah memiliki prinsip yang sampai saat ini tidak dapat aku lupakan. Katanya, “Warisan terbaik untuk anak-anak adalah ilmu pengetahuan.”

Biarlah ayah tidak memiliki banyak sawah, tidak punya tanah yang luas, dan belum bisa membangun rumah, asalkan bisa memberikan warisan yang paling berharga bagi anak-anak, yaitu ilmu.

Bukan ayah yang mengajarkan ilmu, karena ayah hanya seorang lulusan SD. Bukan juga ayah yang akan mengajari bisnis karena ayah juga tidak tahu caranya. Bukan pula ayah yang akan memberikan nasihat paling bermanfaat karena ayah bukanlan seorang pemuka agama atau seorang guru sekolah.

Ayah hanyalah orang tua yang ingin mewariskan ilmu pengetahuan dengan apa yang dia miliki, yaitu tenaga untuk bekerja menyekolahkan dan menempatkan anak-anaknya di pondok pesantren.

Rupanya, tenaga seorang manusia ada batas waktunya. Kini, ayah sudah menua dan bahkan tidak begitu kuat walau hanya menggendong cucunya.

Suatu hari, ketika ayah tinggal di rumahku, ayah bahkan sudah tidak bisa menggeser kran air yang memang seret. Sudah kalah oleh tenagaku yang dulunya selalu meminta tolong diambilkan bambu untuk membuat tongkat Pramuka, atau mengangkatkan lemari saat masuk pondok pesantren. Dulu, ayah sangat prima dan penuh tenaga.

Ya, beberapa bulan lalu ayah sakit dan kami sarankan tinggal bersama di rumah kami di kota. Selain mencari pengobatan yang layak, aku juga ingin dekat dengan ayah setelah sekian lama terpisah jarak yang jauh. Kehadirannya itu menyadarkanku tentang banyak hal.

Aku Bisa Berada di Titik Ini Karena Jasa Seorang Ayah

Saat ini, mungkin apa yang aku capai belumlah sesuai dengan ekspektasi ayahku. Dia ingin aku menjadi seseorang yang sukses seperti defisnisi sukses yang dia pahami. Aku yang lulusan S2 akan lebih membanggakan jika menjadi seorang dosen sehingga orang yang dahulu mencerca bisa terdiam dan tidak lagi bertanya banyak hal tentang pencapaian ayah menyekolahkan anaknya.

Namun, takdir sepertinya belum berpihak kepada keinginan ayah. Aku justru mendaptkan profesi lain yang tidak ayah kenali. Mejadi seorang blogger dan influencer. Pekerjaan yang masih belum ayah mengerti, di mana letak ia bisa melabuhkan rasa bangga. Dia nampak masih menyiratkan sejumlah kebingungan dan secuil perasaan sia-sia hingga kini.

cara menjadi blogger sukses
Ilustrasi blogger, gambar dari Freepik.com

Apalah daya, karena sejauh ini aku sendiri sudah berusaha tapi belum mendapatkan rezeki pekerjaan yang sesuai mimpi ayah.

Namun, jauh dalam hati kecilku secara pribadi, sebenarnya pekerjaan ini adalah pekerjaan yang aku impikan. Pekerjaan yang bisa membuatku tetap bisa mengurus keluarga kecilku dan juga bisa meyekolahkan adik-adikku menggantikan ayah yang sudah mulai tidak berdaya. Meskipun masih dengan nominal yang hanya cukup untuk jajan anak sekolahan.

Aku bisa sejahtera, memiliki pekerjaan yang layak, paham ilmu agama, punya wawasan yang lebih luas, semua itu sesungguhnya karena peran ayah. Jika tidak, mungkin saat ini aku hanyalah ibu rumah tangga tanpa profesi yang aku senangi.

Aku meyadari bahwa orang tua lain mungkin seorang guru yang berwawasan luas, tokoh agama yang mampu memberikan nasihat berharga, tokoh masyarakat yang punya pengaruh besar bagi anak-anaknya hingga dewasa, sementara ayahku tidak punya kemampuan itu.

Seringkali kebanyakan ucapan ayah kini tidak bernilai di hati karena aku yang sudah kenal dengan banyak kalangan akademisi, orang-orang terpandang. Namun, bukankah tujuan mencari ilmu adalah supaya bisa menghormati dan berbakti kepada orang tua? Bukan malah menilai dam membandingkan, menghakimi, memberi kritik yang membebani mereka, apalagi menjatuhkan mental orang tua gara-gara memandang betapa kecilnya pola pikir mereka.

Bukan jalan yang bijak, ketika orang tua tidak lagi mampu bekerja, sebagai seorang berpendidikan kita menginginkan mindset mereka bisa sama denganku. Apalagi jika tahu bawa ayah sakit dan sudah tidak bertenaga lagi.

Penutup

Sebagai orang yang berpendidikan, memiliki pengalaman dan pergaulan yang luas, seringkali kita lupa bahwa ada jarak yang lebar antara pola pikir kita dengan orang tua. Perkataan seorang ayah mungkin tidak lagi terdengar ada manfaatnya. Ucapan seorang ayah bisa jadi tidak lagi terdengar masuk akal.

Begitu juga kondisi fisik kita yang dalam keadaan prima, kurang bisa berempati dengan ayah yang menua dan sakit. Jika kita bisa memaksakan diri terus bekerja saat flu, ayah pun dulu bisa kalau hanya melakukan itu. Berbeda dengan sekarang, ketika ayah memilih berdiam diri, kita mungkin menyamakan kondisi fisik dan psikis dengan diri kita yang sedang sehat dan bahagia. Kita lupa bahwa bisa sampai di titik ini karena pengorbanan seorang ayah.

Ayah adalah pahlawan yang membuat hidup kita lebih baik pada saat dewasa. Berkat perjuangannya, kita bisa memiliki ilmu, wawasan, dan pengalaman hidup yang jauh lebih maju daripada dirinya. Lalu, sekarang setelah kita perkasa, apakah kita akan menjadi pelindung atau justru menjadi sosok yang membedah semua kelemahan ayah?

Apakah sosok ayah juga merupakan pahlawan dalam hidupmu? Apa perjuangan paling mengharukan dari ayah Teman-teman? Yuk, ceritakan hal menarik dari orang-orang sekitar. Kalian juga bisa ikut Kontes Blog Super Bercerita dengan tema #KadoUntukPahlawan yang diselenggarakan mulai 4 April hingga 5 Juni 2022.

Kali ini, Aplikasi Super mengajak segenap blogger di Indonesia untuk berbagi cerita mengenai sosok pahlawan di sekitar Teman-teman. Yuk ikut kontes ini. Ada hadiah menarik yang menanti, lho.

You May Also Like

1 Comment

  1. Yuni Bint Saniro April 27, 2022 at 4:53 pm

    Kurang lebihnya apa yang ayah usahakan meski harus memeras keringat adalah anak-anaknya. Aku merasakannya. Bahkan hingga sebesar ini, ayahku kadang masih menganggapku anak kecil. Wajar sih ya. Apalagi aku belum menikah. Hehehe

Leave a Reply