Apakah Izin Suami Selalu Mutlak? Sebuah Perenungan tentang Pernikahan dan Kesetaraan
Dalam banyak obrolan rumah tangga, reels Instagram, grup WhatsApp, diskusi di media sosial, topik izin suami sering sekali muncul. Misalnya: “Kalau mau kerja, harus minta izin suami dulu,” atau “Kalau mau ikut arisan keluar kota, sudah dapat izin suami belum?” Seolah-olah, izin suami adalah pintu gerbang utama yang menentukan apakah seorang istri bisa melangkah atau tidak.
Tentu, dalam budaya dan agama kita, izin suami dianggap penting sebagai bentuk penghormatan. Bahkan dalam agama, segala tindakan istri, herus berdasarkan izin dari suaminya.
Namun, pertanyaan reflektif yang sering muncul di benak saya adalah: apakah izin suami benar-benar mutlak dan sakral? Ataukah ia sebenarnya sangat dipengaruhi oleh pribadi suami itu sendiri?
Tulisan ini bukan nasihat agama, bukan pula fatwa. Ia lahir dari pengalaman, pengamatan, dan perenungan saya sendiri ketika melihat berbagai tipe rumah tangga. Saya mencoba menuliskan ulang, dengan bahasa yang santai, bagaimana “izin suami” itu bisa sangat beragam bentuknya.
Suami Itu Manusia Biasa, Bukan Sosok Sempurna
Sebelum membahas lebih jauh, mari kita ingatkan diri bahwa suami bukan nabi, bukan malaikat, apalagi Tuhan. Ia manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Setiap suami membawa latar belakang berbeda: budaya, pendidikan, pengalaman hidup, bahkan luka masa lalu. Semua itu memengaruhi cara pandangnya. Maka jangan heran, ada suami yang longgar memberi izin, ada pula yang sangat ketat sampai detail kecil pun ingin dikendalikan.
Artinya, “izin suami” bukanlah hukum universal yang seragam. Ia lebih banyak berbicara tentang siapa pribadi suami tersebut.
Ini bukan tentang menampik titah agama untuk menaati suami. Titah agamanya sudah pasti benar. Namun, agama pun punya ketentuan lanjutan “taat itu selagi apa yang diminta suami ini baik.”
Nah, “baik” yang dimaksud ini sifatnya luas. Bisa baik untuk jangka pendek, jangka panjang, atau temasuk demi kerukunan pernikahan itu sendiri ke depannya.
Sakinah mawaddah warrahmah tentu bukan perkara yang bisa didapatkan dengan pasif. Namun, “diperjuangkan” bersama oleh suami dan istri. Salah satunya dengan lebih “kritis” menilai pribadi suami_yang dalam agama harus ditaati_. Ini poinnya.
Ragam Tipe Suami dalam Memberi Izin
Dari pengamatan dan cerita nyata di sekitar saya, ada beberapa tipe suami dalam soal izin:
1. Tipe Membatasi
Suami seperti ini merasa istri tidak boleh keluar rumah kecuali urusan darurat. Alasannya macam-macam: takut istrinya terpengaruh pergaulan buruk, takut selingkuh, atau sekadar khawatir tanpa dasar. Akibatnya, istri jadi “terkurung” di rumah.
Padahal, seperti pernah saya bahas sebelumnya, istri tidak hanya butuh uang tapi juga ruang untuk aktualisasi diri.
2. Tipe Religius Konservatif
Ada juga suami yang berpandangan bahwa istri sebaiknya hanya di rumah. Mereka sering mengutip dalil agama, tetapi dengan tafsir yang sempit. Bahkan ada yang merasa berhak menikah lagi jika istrinya bekerja di luar, seolah itu ancaman.
Lebih jauh, bahkan ada banyak penceramah yang menyatakan bahwa jika istri bekerja akan mengurangi keberkahan rumah tangga.
3. Tipe Egois
Tipe ini mengontrol aktivitas istri sampai hal terkecil. Misalnya, istri ingin membalas chat pelanggan bisnis kecil-kecilan, suami langsung menegur: “Udah, berhenti aja. Fokus sama anak.” Padahal anak baik-baik saja, hanya ego suami yang merasa harus selalu dilayani.
4. Tipe Suportif & Egaliter
Syukurlah, masih banyak suami yang justru mendukung istri. Istri ingin kuliah lagi? Diperbolehkan. Istri ingin bekerja? Didukung penuh. Bahkan mereka rela berbagi tugas domestik: suami gendong bayi, istri menyiapkan sarapan, lalu bersama-sama berangkat kerja.
5. Tipe Realistis
Ada juga suami yang sadar diri. Ia mungkin penghasilannya terbatas, sementara istrinya punya peluang lebih besar. Misalnya suami honorer yang mengantarkan istrinya ikut tes CPNS, atau suami yang gagal bisnis lalu mendukung istrinya menjadi TKW. Bahkan ada yang kemudian membantu penuh bisnis istrinya, karena memang istri lebih piawai.
Semua tipe ini nyata, ada di sekitar kita. Dan sekali lagi, ini menunjukkan bahwa “izin suami” tidak pernah seragam.
Kutipan Reflektif
Dari semua pengalaman itu, saya sampai pada sebuah refleksi pribadi:
“Izin suami itu sangat tergantung pada persepsi dan pribadi suaminya sendiri.”
Bagi sebagian suami, izin berarti kontrol penuh, bahkan untuk hal kecil. Tapi bagi suami yang berpandangan luas, izin berarti dukungan. Bahkan pergi ke luar negeri sekalipun bisa diberi izin, karena ia percaya pada istri dan menganggap aktualisasi diri itu hak setiap manusia.
Dalam sebuah artikel jurnal berjudul Gender Equality in Marriage: A Comparative Study (Nasution, 2020), disebutkan bahwa pembagian peran dan kebebasan dalam rumah tangga sangat dipengaruhi oleh nilai pribadi masing-masing pasangan, bukan hanya norma agama. Jadi, seringkali yang membedakan bukan “aturan langit”, melainkan “cara pandang manusia.”
Cara Menyikapi Izin Suami Ber-ego Tinggi dan Berpandangan Agama Konservatif
Pertanyaannya, bagaimana kalau suami kita termasuk tipe yang berego tinggi? Atau yang berpandangan konservatif bahwa istri harus selalu di rumah?
Menurut saya, kuncinya ada pada menyamakan persepsi, bukan memaksa. Beberapa hal yang bisa dilakukan:
1. Gunakan komunikasi empatik
Jangan mulai dengan kata-kata yang menyalahkan (“Kamu egois,” “Kamu mengekang”). Mulailah dengan perasaan: “Aku merasa lelah kalau tidak punya kegiatan lain di luar rumah. Aku ingin mencoba, tapi tetap akan mengutamakan keluarga.”
2. Cari titik temu dalam bahasa yang ia hormati
Jika suami sangat religius, gunakan dalil agama yang menekankan pentingnya ilmu dan kerja keras bagi laki-laki dan perempuan. Misalnya QS. At-Taubah ayat 105:
“Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu…”
Ayat ini tidak membedakan laki-laki atau perempuan.
Dalam hadis pun, Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Sesungguhnya perempuan adalah saudara kandung laki-laki.” (HR. Abu Dawud).
Ini menunjukkan kesetaraan dalam kemanusiaan, termasuk hak untuk beraktualisasi.
3. Tunjukkan manfaat nyata
Daripada hanya berdebat, tunjukkan bahwa aktivitas yang istri lakukan membawa kebaikan bagi keluarga. Misalnya, penghasilan tambahan bisa dipakai untuk biaya sekolah anak.
4. Hindari adu ego
Jika suami tinggi ego, melawannya dengan ego hanya memperbesar masalah. Sebaliknya, hadapi dengan konsistensi, kesabaran, dan kecerdasan komunikasi.
5. Bangun kesamaan tujuan
Ingatkan bahwa tujuan utama rumah tangga adalah sakinah, mawaddah, dan rahmah. Kesetaraan bukan berarti melawan, tapi saling mendukung untuk tujuan bersama.
Penutup
Dari perenungan ini, saya semakin yakin bahwa izin suami tidak bisa dipukul rata. Ia bukan hukum mutlak yang sama untuk semua rumah tangga, melainkan hasil interaksi unik antara suami dan istri, dipengaruhi oleh karakter, pengalaman, dan ego masing-masing.
Pernikahan seharusnya menjadi ruang kolaborasi, bukan dominasi. Suami bukan hakim, istri bukan terdakwa. Suami bukan bos, istri bukan bawahan. Suami dan istri adalah dua manusia dewasa yang berkomitmen untuk saling membangun kehidupan bersama.
Maka, bagi para istri: jangan pasif. Jadilah kritis, komunikatif, dan realistis. Dan bagi para suami: belajarlah melihat izin bukan sebagai alat kontrol, melainkan sebagai bentuk kasih sayang dan dukungan.
Akhirnya, semoga kita bisa sama-sama belajar bahwa kesetaraan dalam rumah tangga bukanlah ancaman, melainkan kekuatan.
Bagaimana menurutmu? Sampaikan pendapat kamu di kolom komentar, ya.