Apakah Cinta Sejati Harus Nyata? Refleksi dari Film Paheli

Pertama kali menonton film Paheli ini ketika masih duduk di bangku SMA, saat libur panjang di pondok pesantren bersama teman-teman. Saat itu kami hanya ingin hiburan ringan. Sudah banyak film populer dah hits pada masanya kami tonton.

Dan… sampai pada kejenuhan. “Nonton film apa lagi ya? Kayaknya yang ada di DVD ini kurang menarik deh.” Begitu pikir kami.

Akhirnya, coba deh nonton film yang tersisa, tapi nampak kurang terkenal “Paheli”. Daripaa bengong, ya kan. Ternyata, setelah menontonnya saya merasa ini adalah film yang manis dan romantis. Ada unsur komedi juga di dalamnya sehingga terasa berwarna.

Namun seiring waktu, saya sadar bahwa film ini menyimpan lebih dari sekadar hiburan. Ia menyimpan sebuah pertanyaan besar tentang cinta: apakah cinta sejati harus nyata? Haruskah ia berbentuk tubuh, nama, status? Atau cukup ia hadir di dalam jiwa?

Ketika Hantu Menggantikan Suami

Dalam film ini, Lachchi, perempuan muda yang baru saja menikah, ditinggal suaminya, Kishanlal, sehari setelah upacara pernikahan karena urusan dagang. Di tengah sepinya hati, datanglah sosok hantu yang jatuh cinta padanya—hantu yang mengambil rupa suaminya dan tinggal bersamanya, mencintainya sepenuh hati, dan membuatnya bahagia.

Awalnya saya hanya melihat ini sebagai dongeng manis khas Bollywood. Tapi sekarang, setelah dewasa, menikah, dan punya anak, saya melihatnya secara berbeda.

Sang hantu tidak punya tubuh. Ia tidak punya status. Ia hanya ada. Namun justru dari “ketidakberwujudannya” itu, ia memperlihatkan cinta yang paling nyata—yang mendengarkan, merawat, memahami, dan hadir sepenuh hati. Bukan cinta yang terikat kewajiban, tetapi cinta yang memilih untuk tinggal.

Hantu sebagai Metafora Kebutuhan Jiwa

Dalam kehidupan nyata, mungkin kita tidak bertemu hantu dalam rupa suami. Tapi kita semua pernah merasakan apa itu ketiadaan yang hadir, atau kehadiran yang hampa.

Ada hubungan yang sah secara sosial, namun sunyi secara emosional. Ada pula hubungan yang tak punya ikatan resmi, tapi terasa mendalam dan hidup—karena ada kehadiran batin, perhatian yang tulus, dan kehangatan yang nyata.

Di sinilah saya merasa Paheli menyimpan kekuatan simbolisnya: sang hantu adalah metafora kebutuhan jiwa manusia akan kehadiran emosional. Akan cinta yang bukan hanya tinggal di rumah, tetapi juga tinggal di dalam hati.

Mengapa Hantu Itu Menyentuh?

Saya ingat betapa hantu dalam film ini begitu lembut. Ia tidak memaksa. Ia memberi pilihan pada Lachchi. Bahkan ketika identitasnya terbongkar, ia tetap memilih mencintai—bukan mengklaim. Di sana, saya melihat bukan hanya kisah cinta, tapi pelajaran: bahwa cinta sejati tidak menuntut untuk diakui secara sosial, tapi untuk dihidupi secara jujur.

Dan mungkin itulah mengapa film ini terus melekat di benak saya. Ringan, iya. Romantis, juga iya. Tapi juga menyelinap diam-diam ke ruang-ruang dalam, ke tempat di mana kita menyimpan mimpi, harapan, dan pertanyaan tentang siapa yang benar-benar hadir untuk kita.

Budaya, Romantika, dan Kerinduan

Selain kisah cintanya, Paheli juga menarik buat saya karena sangat kental dengan budaya India—kostum, tarian, warna-warni gurun Rajasthan, hingga suasana pedesaan yang kental. Sebagai penonton dari budaya yang berbeda, saya merasakannya seperti melihat negeri dongeng yang akrab. Mungkin karena saya menontonnya bersama teman-teman pondok, di masa muda yang penuh rasa ingin tahu.

Sekarang, ketika saya menontonnya kembali di waktu senggang, saya merasakan kesan yang berbeda. Bukan nostalgia semata, tetapi semacam pengingat bahwa cinta sejati itu tidak harus megah atau sempurna—cukup hadir, cukup mengerti, cukup tinggal di hati.

Penutup

Paheli mungkin hanyalah film. Tapi ia mengajarkan satu hal penting: Bahwa yang paling kita rindukan dalam cinta bukan tubuhnya, bukan statusnya, tapi jiwanya yang ada untuk kita.

Dan terkadang, justru yang tak terlihat itulah yang paling mengisi.

You May Also Like

Leave a Reply