Apa Sebenarnya Cinta Sejati Itu? Sebuah Renungan dari Praktik Poligami yang Sedang Viral
Ada momen-momen tertentu ketika sebuah berita viral bisa menjadi cermin. Bukan karena kita mengenal orang-orang di dalam kisah itu, tetapi karena cerita tersebut menyentuh sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang menggelitik nalar, menggoyang intuisi, atau membuka kembali ruang refleksi yang selama ini mungkin kita tutup rapat.
Seperti kisah seorang pemuka agama, seorang Habib yang belakangan ramai dibicarakan. Dengan lantang ia mengatakan bahwa cintanya hanya untuk istrinya. Katanya, ia bersumpah. Katanya, ia setia. Namun pada kenyataannya, hidup berbicara lain.
Sementara istrinya mengandung, melahirkan, dan memulihkan diri seorang diri, sang Habib justru sibuk berpindah dari satu panggung dakwah ke panggung dakwah lainnya. Terbang ke berbagai kota. Diundang ke banyak forum.
Dan entah di sela-sela yang mana, ia menikahi perempuan lain secara siri, perempuan yang dipilih entah alasan ibadah atau apa, namun yang jelas karena daya tarik fisik yang tidak bisa ia sangkal. Ironisnya, perempuan-perempuan ini pun akhirnya tidak dirawat sebagaimana mestinya. Mereka hadir sebagai bukti bahwa kasih sayang bisa diklaim, tetapi tidak selalu diwujudkan.
Cerita itu membuat banyak orang berhenti sejenak: kalau begitu, cinta macam apa yang dimaksudkan?
Sebuah pertanyaan sederhana yang justru membuka pintu pada renungan panjang.
Cinta yang Diklaim vs Cinta yang Ditunjukkan
Ada perbedaan besar antara kata “cinta” yang meluncur dari bibir, dan cinta yang benar-benar mewujud dalam tindakan. Seseorang bisa mengucapkan ribuan kali bahwa ia mencintai satu orang, namun keputusan-keputusan hidupnya bisa mengatakan yang sebaliknya. Dan kesenjangan antara dua hal itu—antara ucapan dan tindakan—sering kali menjadi cermin paling jujur tentang siapa kita sebenarnya.
Pada praktik poligami yang sedang viral ini, pertanyaan besarnya bukan sekadar boleh atau tidak, halal atau tidak, atau siapa yang menjadi korban. Pertanyaan yang lebih mendasar adalah: di mana cinta dalam semua itu?
Jika cinta sejati adalah kehadiran, mengapa ada ketidakhadiran pada momen paling krusial?
Jika cinta sejati adalah ketulusan, mengapa ada keputusan yang lebih tampak seperti pelarian daripada pengorbanan?
Jika cinta sejati adalah memberi, mengapa ada begitu banyak yang terasa seperti mengambil?
Di titik ini, publik mulai mengajukan keraguan: apakah cinta bisa dibagi? Atau sebenarnya yang dibagi bukan cinta, melainkan keinginan, keinginan untuk merasa berkuasa, memiliki, atau sekadar memenuhi hasrat yang dibalut legitimasi agama?
Narasi tentang “cinta yang tak terbagi meski pasangan bertambah” mungkin terdengar indah bagi sebagian orang. Namun bagi yang lain, terutama mereka yang memaknai hubungan sebagai ruang intim yang satu-satunya, konsep itu terasa tidak masuk akal. Ada hal-hal yang memang tidak ditakdirkan untuk diduplikasi. Cinta, barangkali, salah satunya.
Ketika Cinta Kehilangan Arahnya
Cinta, pada bentuk yang paling murni, adalah keinginan untuk menghadirkan kebaikan pada orang yang kita cintai. Cinta bukan sekadar rasa suka, bukan sekadar ketertarikan, apalagi sekadar hasrat. Cinta adalah komitmen untuk menjaga, memahami, dan menempatkan kesejahteraan orang lain sebagai prioritas.
Ketika seorang suami meninggalkan istrinya yang sedang kesakitan demi panggung-panggung yang memberinya ketenaran, kita perlu bertanya: apakah itu cinta, atau hanya cinta versi dirinya yang paling menguntungkan dirinya sendiri?
Ketika seorang laki-laki berkata bahwa ia mencintai istrinya, namun tetap menautkan hati, hasrat, dan tubuhnya pada perempuan lain, kita kembali bertanya: itu cinta, atau hanya pembenaran atas keinginan?
Cinta sejati, pada akhirnya, bukan tentang berapa banyak orang yang bisa kita cintai.
Cinta sejati adalah tentang bagaimana kita mencintai satu orang, dengan penuh, dengan utuh, dan tanpa menyakiti.
Merenungkan Ulang: Apa Itu Cinta Sejati?
Dalam refleksi yang lebih personal, saya sampai pada pemahaman bahwa cinta sejati adalah sesuatu yang sederhana sekaligus dalam. Ia adalah gabungan dari ketertarikan fisik, ketenangan emosional, dan keinginan untuk melindungi seseorang, tidak hanya di hadapan dunia, tapi juga di hadapan diri sendiri.
Cinta sejati adalah ketika kita ingin dekat setiap hari, bukan karena ketergantungan, tetapi karena kehadirannya membuat hidup lebih penuh. Ia adalah kerinduan, tetapi juga memberi energi. Ia adalah keinginan untuk merawat dan menjaga, bukan untuk mengurung atau menguasai.
Dan ya, cinta sejati juga menyentuh wilayah hasrat. Hasrat yang natural, yang terarah pada satu orang, yang tidak berserakan ke mana-mana. Bagi sebagian perempuan, dan bagi sebagian laki-laki pula, cinta itu begitu eksklusif. Ketika mencintai seseorang, tubuh pun tahu ke mana ia ingin berpulang. Hasrat menjadi monogami bukan karena dipaksa, tetapi karena memang hanya satu yang diinginkan.
Karena itu, muncul pertanyaan reflektif yang sangat manusiawi:
cinta macam apa yang mengaku setia pada satu hati, tetapi membagi tubuh pada banyak orang?
Bagi sebagian dari kita, jawabannya jelas: itu bukan cinta, itu keinginan yang diberi panggung.
Cinta sejati tidak menyebar. Ia justru memusat.
Cinta Tidak Selalu Harus Memiliki
Ada dimensi lain yang sering terlupakan: cinta sejati tidak selalu memaksa untuk memiliki. Kadang cinta justru meminta kita untuk menjaga jarak tertentu demi kebaikan orang tersebut. Bukan karena cinta yang memudar, tetapi karena cinta yang begitu dalam sehingga kita belajar untuk tidak merusak hidup orang lain.
Cinta sejati bukan hanya tentang keinginan kita, tetapi tentang mempertimbangkan kebahagiaan dan ketenangan orang lain, even when that means stepping back.
Di titik ini, cinta menjadi lebih dewasa, lebih jernih, dan lebih hening. Tidak gaduh. Tidak memaksa. Tidak serakah.
Cinta vs Kepemilikan: Dua Hal yang Berbeda
Ketika seseorang melakukan poligami dengan dalih cinta, kita perlu melihat dengan jernih: apakah itu cinta atau kepemilikan? Kepemilikan ingin menambah, ingin memperluas, ingin merasa berhak atas banyak hal. Cinta tidak bekerja seperti itu. Cinta tahu batas. Cinta memilih satu dan berkata: “cukup di sini.”
Ketika seorang pemuka agama membagi hatinya ke beberapa perempuan, mungkin ia tertarik pada mereka. Mungkin ia peduli. Tetapi apakah itu cinta sejati?
Banyak perempuan akan menjawab: tidak. Banyak laki-laki jujur pun akan menjawab: tidak.
Cinta sejati tidak bersuara sebanyak itu. Ia tidak butuh pembelaan panjang. Ia tidak butuh klaim-klaim besar. Ia membuktikan dirinya lewat konsistensi.
Cinta Sejati Selalu Mengarah ke Satu Titik
Dari kisah viral ini, kita belajar bahwa tidak semua yang disebut cinta adalah cinta. Tidak semua niat baik benar-benar baik. Tidak semua pembenaran agama bebas dari bias kepentingan pribadi. Dan tidak semua hubungan yang tampak sempurna benar-benar dijiwai ketulusan.
Cinta sejati, jika itu untuk istri pertama, justru karena ia begitu berharga, tidak bisa diduakan. Ia muncul sebagai keinginan untuk hadir, bukan untuk pergi. Keinginan untuk memberi, bukan mengambil. Keinginan untuk mendampingi, bukan meninggalkan. Keinginan untuk menjaga, bukan menyakiti.
Jika cinta itu hadir untuk orang lain, dia akan tahu jalan. Apakah jika memiliki akan banyak memberi atau justru merampas? Orang yang punya cinta pasti akan berhenti saat tidak dapat merawat, atau akan memilih satu saja dan meninggalkan yang lainnya.
