Andai Gerbang Dibuka: Membayangkan Ending Devdas yang Lebih Manusiawi di 2025
Ada adegan di Devdas (2002) yang membuat banyak penonton menahan napas—bahkan setelah bertahun-tahun menontonnya, bayangannya masih membekas. Devdas yang sekarat terbaring di luar rumah Paro. Paro, dengan mata penuh air, berlari dari dalam rumah untuk menemuinya. Namun, hanya beberapa langkah sebelum sampai, ia terhenti. Bukan karena lelah, tapi karena pintu gerbang besar terkunci rapat.
Perintah itu datang dari suaminya. Bagi keluarga besar, ini soal kehormatan. Bagi Paro, ini adalah hukuman paling kejam—terpisah dari seseorang yang pernah mengisi seluruh hatinya, tepat di saat ia ingin mengucapkan selamat tinggal.
Tapi, bagaimana jika cerita ini terjadi di era 2025? Apakah gerbang itu akan tetap tertutup? Atau justru terbuka lebar, dengan sikap suami yang lebih manusiawi dan penuh empati? Mari kita membayangkannya.
Terlebih lagi, dari kisah di filmnya, Paro dan sang suami sudah secara gamblang menyebutkan bahwa keduanya menikah untuk status sosial. Bukan atas dasar saling mencintai. Suaminya dengan tegas mengatakan bahwa cintanya hanya untuk almarm istri. Begitu juga Paro yang masih mencintai Devdas.
Tragedi Gerbang Tertutup di Versi Asli

Dalam versi aslinya, latar cerita adalah Bengal pada awal abad ke-20. Norma sosial sangat kaku, reputasi keluarga dianggap segalanya, dan perempuan hampir tak punya ruang untuk membuat keputusan pribadi. Suami Paro adalah bangsawan yang lebih tua, memegang teguh martabat keluarga.
Ketika Devdas datang dalam keadaan mabuk dan sekarat, suami Paro melihatnya sebagai aib yang harus dijauhkan dari pandangan orang. Gerbang pun dikunci rapat. Paro hanya bisa berlari, memanggil, dan akhirnya terhenti, menyaksikan Devdas menghembuskan napas terakhir di luar pagar.
Adegan ini bukan sekadar dramatik, tapi juga simbolis. Gerbang menjadi metafora batas takdir dan dinding sosial yang memisahkan dua hati, meski jaraknya hanya beberapa meter.
Jika Ceritanya Terjadi di 2025
Bayangkan kita memindahkan kisah ini ke dunia modern. Nilai kemanusiaan kini lebih dihargai, komunikasi pasangan lebih terbuka, dan masa lalu tidak selalu dianggap ancaman.
Dalam versi ini, Paro memberitahu suaminya, “Devdas datang… dia sakit parah, mungkin ini terakhir kalinya.” Alih-alih memerintahkan untuk mengunci gerbang, sang suami justru memilih mengantar Paro keluar.
Bukan berarti dia sepenuhnya nyaman—rasa cemburu dan tidak aman pasti tetap ada—tetapi ia memahami bahwa kesempatan berpamitan adalah hak kemanusiaan yang tidak boleh dirampas.
Pintu gerbang pun dibuka. Paro keluar, menggenggam tangan Devdas, dan mereka saling menatap untuk terakhir kalinya. Devdas tersenyum tipis, menghembuskan napas terakhir, lalu pergi dengan damai. Paro kembali ke rumah dengan hati yang berat, namun tanpa penyesalan yang akan membayanginya seumur hidup.
Perbedaan Pesan Moral
Di versi Bhansali, gerbang tertutup mengajarkan bahwa cinta tak selalu bisa mengalahkan norma sosial dan ego keluarga. Penonton dibuat frustasi, sedih, dan meninggalkan bioskop dengan perasaan “andai saja…”
Sedangkan dalam versi modern, gerbang yang terbuka mengajarkan pesan berbeda: cinta lama tidak selalu menjadi ancaman bagi cinta baru, dan empati bisa menjadi jembatan untuk menutup masa lalu dengan sehat. Ending ini mungkin tak seikonik versi aslinya, tapi lebih relevan dengan nilai-nilai hubungan yang sehat di zaman sekarang.
Kenapa Versi Modern Lebih Manusiawi

1. Memberi Ruang untuk Closure
Paro mendapat kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal, sehingga tidak terjebak dalam trauma dan kebencian.
2. Membangun Kepercayaan Pasangan
Suami yang memberi izin justru menunjukkan kedewasaan emosional dan rasa percaya pada pasangannya. Bahkan, ini bisa membuka cinta baru di hati Paro untuk suaminya, atau setidaknya membangun kedamaikan dalam pernikahan mereka meskipun diawali dengan “kompromi” semata.
3. Mengutamakan Empati di Atas Ego
Membuka gerbang bukan soal mengalah, tapi soal memilih kemanusiaan di saat genting.
Akhir Kata
Sanjay Leela Bhansali jelas memilih versi gerbang tertutup karena efek dramatisnya luar biasa. Tapi di dunia nyata—apalagi di era modern—kadang pilihan yang lebih bijak adalah membuka pintu, bukan menutupnya. Karena, siapa tahu, pintu yang kita buka untuk orang lain justru membuka ruang lega bagi hati kita sendiri.