7 Refleksi Satu Semester, Belajar Menjadi Dosen yang Profesional

Satu semester mengajar akhirnya benar-benar selesai. Di kalender akademik, ini mungkin hanya satu periode perkuliahan biasa. Tapi bagi saya, satu semester ini terasa sangat penuh—bukan karena jumlah kelas atau tumpukan tugas mahasiswa, melainkan karena begitu banyak proses batin yang ikut berjalan di dalamnya.

Mengajar ternyata bukan hanya soal berdiri di depan kelas, menyampaikan materi, lalu memberi nilai. Ada proses belajar lain yang diam-diam berlangsung, dan justru itu yang paling melelahkan sekaligus bermakna.

Saya masuk ke dunia mengajar dengan semangat besar, tapi juga dengan banyak kecemasan. Takut terlihat kaku, takut tidak cukup pintar, takut tidak mampu membawa diri sebagai dosen. Seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa mengajar adalah proses menata peran, mengelola emosi, belajar bersikap adil, dan perlahan memahami arti profesionalisme yang sesungguhnya.

Dari perjalanan satu semester inilah lahir tujuh refleksi ini—sebuah catatan jujur tentang belajar menjadi dosen, sambil tetap belajar menjadi manusia.

1. Mengajar Bukan Sekadar Menyampaikan, tapi Menciptakan Proses Belajar

Di awal perkuliahan, fokus saya masih sangat kuat pada diri sendiri: apakah saya sudah menyampaikan materi dengan benar, apakah saya terlihat kompeten, apakah saya bisa menjawab semua pertanyaan. Saya merasa sebagai dosen, saya “harus bisa segalanya”. Ada rasa malu jika tidak tahu, ada rasa takut jika salah menyampaikan.

Namun seiring berjalannya waktu, saya mulai menyadari bahwa pola pikir ini justru melelahkan. Terlalu idealis ingin selalu benar dan selalu tahu membuat saya tegang, kaku, dan tanpa sadar menciptakan jarak dengan mahasiswa.

Saya sebenarnya sudah paham sejak awal bahwa peran dosen adalah fasilitator. Namun, keinginan untuk bisa terlihat “menguasai medan” refleks saja mengiringi aktivitas mengajar. Proses satu semester ini menguatkan pemahaman saya mengenai apa peran sesungguhnya, yaitu perantara antara mahasiswa dan ilmu.

Sebagai perantara, saya memahami bahwa tujuan utamanya adalah bagaimana setiap pertemuan memberikan dampak. Dan ilmunya seringkali bukan harus dari saya. Bisa dari bacaan, sesame mahasiswa, bahkan Artificial Intelligence (AI).

“Mengajar bukan tentang tampil sempurna, tapi tentang membuka ruang belajar.”

2. Belajar Bersahabat dengan Kekurangan

Ada momen-momen di kelas ketika saya benar-benar kesulitan menjawab pertanyaan mahasiswa. Khususnya mata kuliah yang bersifat teoritis dan menuntut wawasan.

Awalnya, itu membuat saya tidak nyaman. Tapi justru dari situ saya belajar banyak. Saya teringat pengalaman saat S2 dulu, melihat dosen-dosen senior—bahkan profesor dan penulis buku—yang dengan sangat tenang berkata, “Saya belum tahu,” atau “Mari kita cari bersama.”

Dari situ saya mulai memahami bahwa mengakui keterbatasan bukanlah kelemahan. Justru itu menunjukkan kedewasaan akademik.

“Mengatakan tidak tahu kadang lebih jujur daripada memaksakan jawaban.”

Ada hal lainnya juga yang cukup menampar ego saya. Kenyataannya, ada mahasiswa yang lebih luas bacaannya, lebih kritis, dan lebih tajam pemikirannya. Dan itu wajar. Mahasiswa hari ini punya akses informasi yang sangat luas.

Terlebih lagi, saya memaklumi bahwa sudah begitu lama berkiprah di bidang praktis dan ibu rumah tangga sekaligus. Jujur, memang peran tersebut menutup motivasi saya untuk membaca literatur keilmuan. Itu sudah 5 tahun lebih, dan saya harus meaafkan kekurangan diri sendiri tatkala berhadapan dengan pembelajaran yang menuntut luasnya wawasan keilmuan.

Saya juga belajar untuk tidak merasa terancam oleh hal itu. Justru sebaliknya, saya belajar memposisikan diri sebagai fasilitator—orang yang membantu proses belajar, bukan satu-satunya sumber ilmu.

“Tujuan kelas bukan saya terlihat pintar, tapi mahasiswa pulang membawa ilmu.”

3. Lebih Termotivasi untuk Memberikan Manfaat di Media Digital

Peran baru saya sebagai pengajar ternyata menghadirkan dorongan tersendiri untuk lebih memperhatikan apa yang saya unggah dan bagikan di media digital. Baik itu story WhatsApp, feed dan reels di media sosial, maupun tulisan-tulisan di website pribadi. Ada kesadaran baru bahwa apa yang saya tampilkan kini tidak lagi berdiri sebagai urusan pribadi semata.

Saya tetap ingin menjadi diri sendiri, tetap memposting kegiatan sehari-hari sebagaimana biasanya. Namun, ada proses menyaring yang kini terasa lebih kuat: apakah unggahan ini memiliki faedah untuk orang lain atau tidak. Faedah di sini tentu tidak harus selalu berupa edukasi yang kaku dan berat, tetapi bisa dalam bentuk hal-hal sederhana yang tetap memberi manfaat. Bisa berupa informasi baru, hiburan ringan, atau sekadar inspirasi kecil yang mungkin relevan bagi orang lain.

Terlepas dari bagaimana orang lain menangkap atau menafsirkan unggahan tersebut, yang paling penting bagi saya adalah niat di baliknya. Niat itu perlu terus diluruskan. Bukan sekadar mengikuti keinginan sesaat tanpa tujuan, melainkan benar-benar berniat memberikan “sesuatu”, sekecil apa pun bentuknya.

Hal-hal yang sebelumnya terasa sangat biasa, seperti memposting kegiatan makan di pasar malam, foto segelas brown sugar coffee, selfie, dan aktivitas ringan lainnya, kini menghadirkan semacam tuntutan batin tersendiri. Ada perasaan kurang nyaman, bahkan sedikit malu, ketika memposting sesuatu tanpa esensi apa pun.

Sebaliknya, ketika saya menyelipkan manfaat—entah itu dengan tujuan menghibur, memberikan informasi referensi, atau menambahkan kutipan inspiratif—ada kepuasan tersendiri yang muncul. Bukan karena ingin terlihat lebih baik, tetapi karena merasa unggahan tersebut memiliki arah dan makna.

Perubahan ini mungkin terjadi karena saya mulai lebih banyak berinteraksi dengan dunia sosial secara nyata, tidak lagi hanya beraktivitas di rumah atau berkarya “di bawah tanah”. Dulu, hampir semua yang saya tampilkan murni berdasarkan apa yang menurut saya menarik, tanpa terlalu memikirkan apakah itu bermanfaat bagi orang lain atau tidak.

Kini, peralihan peran ini saya anggap sebagai perubahan yang penuh berkah. Sebab pada akhirnya, saya kembali diingatkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi sesamanya—sekecil apa pun manfaat itu.

4. Profesionalisme Berarti Menyimpan Urusan Pribadi di Luar Kelas

Ada hari-hari di mana saya datang ke kampus dengan kondisi emosional yang kurang baik. Bisa karena lelah, ada masalah pribadi, atau suasana hati yang tidak stabil. Tapi saya belajar bahwa mahasiswa tidak perlu menanggung beban emosional saya.

Begitu masuk kelas, saya harus tetap berperan sebagai dosen. Hal yang sama berlaku dalam komunikasi melalui WhatsApp atau media lainnya. Profesionalisme bukan soal kaku, tapi soal tanggung jawab terhadap peran.

“Perasaan boleh manusiawi, tapi peran tetap harus dijaga.”

Ada saatnya sebelum masuk ke dalam kelas tertentu, tiba-tiba perut mulas. Bahkan, setelah mengajar, tubuh saya terasa sakit sehingga harus meminum obat.

Ini adalah pengalaman paling unik dan memorable, karena sebegitu kuat tantangan emosional dan mental bagi saya. Mungkin di kelas saya tampak biasa saja, tidak terjadi apa-apa. Namun, di dalam, seringkali seperti badai yang begitu sulit dikendalikan sehingga efek ke fisik yang akhirnya harus tetap sehat dengan obat pereda sakit.

Semoga ini hanya proses awal, penyesuaian saja. Di semester selanjutnya bisa lebih tenang dan lebih santai.

5. Tidak Mengambil Sikap Mahasiswa sebagai Serangan Pribadi

Dalam kelas besar, selalu ada mahasiswa dengan sikap yang kurang menyenangkan. Ada yang suka mengobrol, ada yang cara bicaranya kurang sopan, ada yang menampilkan ekspresi yang terasa mengganggu. Awalnya, hal-hal seperti ini cukup mengganggu saya.

Namun saya belajar bahwa itu adalah karakter personal mahasiswa tersebut. Bukan semua hal harus saya jadikan urusan pribadi. Jika perlu ditegur, ditegur dengan cara yang tepat. Tapi tidak perlu disimpan di hati.

Saya belajar untuk selalu bisa kembali kepada niat awal mengajar dan menghargai mahasiswa lain yang antusias belajar. Dari 40 orang misalnya, akan sangat disayangkan jika sikap saya berubah kepada semuanya hanya karena sika satu atau dua orang.

“Satu semester mengajarkan saya untuk menghormati 38 orang yang khidmat tanpa terganggu 2 orang yang rusuh.”

6. Keadilan dalam Penilaian Itu Penting, Meskipun Tampak Kaku

Refleksi ini cukup teknis, tapi sangat penting. Saya sempat khawatir dianggap terlalu kaku karena mencatat keaktifan mahasiswa, siapa yang bertanya, siapa yang menjawab, siapa yang maju ke depan. Tapi di akhir semester, catatan-catatan ini sangat membantu.

Ketika ada mahasiswa yang mengajukan keberatan nilai, saya bisa menjelaskan dengan data, bukan perasaan. Penilaian berbasis rubrik, skala, dan catatan keaktifan membuat proses ini lebih adil.

Namun saya juga menyadari keterbatasan saya. Tidak semua hal tercatat. Ada mahasiswa aktif yang terlewat, dan itu menimbulkan rasa bersalah. Karena itu, saya membuka ruang sanggahan nilai, memberi waktu mahasiswa untuk melihat dan mengajukan keberatan.

“Keadilan bukan berarti sempurna, tapi mau bertanggung jawab.”

Ketika sesama dosen lain sudah liburan, saya tetap fokus menanggapi respon mahasiswa yang mengajukan sanggahan terkait nilai. Ada yang memang nilainya sudah sesuai dengan performa mereka, ada juga yang memang terjadi kesalahan di penilaian saya.

Mengurangi jatah liburan bukan memaksakan peran, tapi proses menapaki anak tangga dari bawah. Mulai dari melihat kemampuan saya dalam bersikap adil, pola belajar mahasiswa, hingga menjadi evaluasi untuk pengajaran selanjutnya.  

7. Menjadi Dosen Pemula yang Terus Belajar

Refleksi terakhir ini sangat personal bagi saya. Saya belajar untuk memaklumi diri sendiri. Sebagai dosen pemula, wajar jika saya masih sangat detail, masih lama dalam menilai, masih menggunakan rubrik dengan rapi, dan masih perlu persiapan jauh hari sebelum mengajar.

Saya melihat dosen senior yang terlihat sangat praktis dan cepat. Tapi saya sadar, mereka pernah berada di fase yang sama. Seperti naik tangga, saya harus memijak anak tangga pertama dengan benar.

“Menjadi pemula bukan kekurangan, tapi bagian dari proses.”

Satu hal paling penting yang saya dapatkan adalah dosen memang harus banyak membaca. Baik itu buku ataupun informasi terkini.

Ada kutipan yang begitu melekat di pikiran dan hati saya belakangan ini, yaitu:

“Bacalah 1000 buku, maka ucapanmu akan mengalir seperti sungai.”

Ini menjadi motivasi sekaligus insight penting. Selama satu semester ini, saya merasa terhambat dalam kegiatan kuliah karena masih kurangnya literatur yang saya baca. Bismillah, harus semakin rajin membaca.

Penutup

Satu semester ini mengajarkan saya bahwa menjadi dosen bukan tentang tampil sempurna, tapi tentang terus belajar. Saya juga mendapatkan motivasi yang lebih kuat untuk terus bertumbuh menjadi anfa’ linnas lewat peran mengajar dan meningkatkan kualitas diri.

Tujuh refleksi ini mungkin belum selesai. Tapi bagi saya, inilah fondasi awal untuk melangkah ke semester berikutnya—dengan niat yang lebih jernih dan sikap yang lebih dewasa.

You May Also Like

Leave a Reply